Andai LCS tidak memacari lelaki itu, sindikat prostitusi ABG (anak baru gede) di situs jejaring sosial Facebook tidak akan terungkap Cinta monyet antara LCS dan seorang lelaki membuat persahabatan tujuh ABG retak.
Ketujuh ABG itu adalah “peliharaan” seorang mucikari bernama Dede. Mereka adalah KKS (15), AC (15), VYL (13), ZV (l5), LCS (15), NF (16), dan AS (15). Ketujuh ABG itu tinggal di satu kampung di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Dede adalah tetangga mereka.
Persahabatan LCS dengan keenam temannya retak karena LCS memacari seorang lelaki yang merupakan sahabat keenam temannya itu. Pada suatu hari, keenam teman LCS meminta pertanggungjawaban.
“Ketika LCS dimintai penjelasan soal pacarnya itu, enam teman LCS mengeroyoknya di luar Pasaraya Manggarai hingga babak belur. Anak saya VYL ikut juga menghajar LCS,” tutur DD di rumahnya di Kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Minggu (23/1/2011).
Selanjutnya, melihat wajah anaknya membiru, orangtua LCS melaporkan hal ini kepada guru LCS di sebuah SMP swasta di Jalan Pariaman. Sang guru kemudian memeriksa identitas LCS di akun Facebook. Ia curiga melihat beberapa foto LCS bersama enam temannya dan Dede di dalam kamar sebuah hotel.
Beberapa hari kemudian, pihak sekolah mengundang semua orangtua, termasuk petugas Kepolisian Sektor Metro Setiabudi. “Saya tadinya dipanggil untuk kasus pengeroyokan. Awalnya, polisi menyampaikan kasus perkelahian remaja. Kemudian, sang guru membeberkan foto-foto muridnya yang terlibat prostitusi via Facebook,” ujar DD.
Setelah itu, polisi menyingkirkan kasus perkelahian remaja dan beralih ke kasus lain, yaitu penjualan anak di bawah umur. Petugas menanyakan Dede ke para orangtua yang hadir, apakah ia benar tinggal di sana. “Saya jawab, ia benar sekali. Dede itu tetangga saya,” kata DD yang diamini beberapa orangtua lainnya.
Suatu hari, polisi meminta DD menunjukkan rumah Dede dan mengawasi pergerakannya. Beberapa jam kemudian, ujar DD, ada lima petugas Polsek Setiabudi datang ke rumah Dede dan menanyakan hubungannya dengan tujuh gadis di dalam foto itu. “Kepada polisi, dia (Dede) bilang anak-anaknya saja yang bandel. Polisi terus mencecar pertanyaan hingga ia mengaku mengirim L dan kawan-kawan ke sebuah apartemen di Kemayoran,” ucap DD.
Akhirnya, Dede dibawa paksa ke kantor polisi. Mengingat TKP berada di Kemayoran, polisi menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat.
Penjualan tujuh wanita berusia belasan tahun atau dikenal sebagai anak baru gede (ABG) di sebuah kamar di Apartemen Puri Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2011) sekitar pukul 18.00, terbongkar oleh polisi.
Polisi juga menangkap Alay (50) yang hendak membeli satu dari tujuh ABG itu, dan Dede (28), yang menjadi mucikarinya. Kamar apartemen adalah milik Alay. Setiap remaja wanita berpenampilan kenes itu dihargai Dede Rp 2 juta untuk melayani nafsu seorang konsumen.
Ketujuh ABG itu adalah KKS (15), AC (15), VYL (13), ZV (l5), LCS (15), NF (16), dan AS (15). Seluruh ABG tersebut adalah tetangga dari Dede yang tinggal di Jalan Dr Saharjo, Gang Bhakri, RT 07/05 Kelurahan Manggarai, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Kasatreskrim Polrestro Jakarta Pusat Kompol Yoyon Toni Suryaputra mengatakan, Alay ditangkap saat hendak dilayani oleh dua ABG di kamar apartemennya.
Yoyon mengungkapkan, Dede yang merupakan wanita beranak satu itu sudah setahun menjajakan remaja wanita tetangganya khusus jasa layanan seks. Semua ABG yang ditawarkan berusia di bawah 17 tahun.
Dalam pekerjaannya sebagai mucikari, Dede tergolong aktif mencari para ABG wanita di sekitar rumahnya. Yoyon mengatakan, transaksi biasanya dilakukan Dede melalui ponsel. “Alay adalah salah satu langganan Dede. Jika Alay membutuhkan, Dede ditelepon lalu para ABG disiapkan,” kata Yoyon.
Pelajar SMP
DD (43), ayah VYL, mengatakan, dirinya merupakan salah satu pelapor kasus itu. Dia melakukan itu karena guru sekolah VYL memberitahu jika purtinya “dijual” oleh Dede. “Kata guru, kasus ini terbongkar setelah memeriksa akun Facebook salah seorang ABG yang kebetulan satu sekolah dengan anak saya,” kata DD.
Kasus ini pun dilaporkan pihak sekolah ke Polsektro Setiabudi. Namun, karena lokasi praktik mesum dilakukan di kawasan Jakarta Pusat, kasus itu dilimpahkan ke Polrestro Jakarta Pusat.
DD mengakui bahwa putri bungsunya itu mengalami perubahan perilaku dalam beberapa bulan terakhir. “Biasanya kalau pulang sekolah atau berangkat sekolah pasti ucapin salam, tetapi sekarang enggak. Anak saya juga sering melawan dan sering pulang malam. Kalau ditanya, jawabnya cuma main ke rumah teman saja,” ujar DD.
DD tidak menyangka bahwa anaknya telah “dijual”, karena dia tidak melihat perubahan fisik maupun barang yang dimiliki VYL. Bahkan DD tetap memberikan uang jajan Rp 20.000 per hari kepada anaknya yang masih duduk di kelas I SMP tersebut.
“Saya juga enggak tahu kalau Dede itu telah menjual anak saya,” terang DD
Komisi Nasional Perlindungan Anak menduga praktik penjualan tujuh ABG oleh mucikari ke pria hidung belang diiringi dengan perdagangan narkoba.
“Ada dugaan kuat, korban dijebak jadi pencandu sekaligus pengedar narkoba,” kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait seusai menerima enam orangtua korban di kantornya di Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kamis (20/1/2011).
Para korban yang masih di bawah umur itu mengaku dipaksa memakai sabu oleh I. Kalau berhasil mengisap sabu per 30 detik, korban dijanjikan uang Rp 50.000. “Kami menilai I difasilitasi oleh Ade untuk menyediakan sabu. Mereka dijebak untuk jadi pengguna dan distributor,” kata Arist.
Para orangtua korban khawatir akan kondisi psikis buah hati mereka. Jika dibiarkan begitu saja, anak-anak yang jadi korban ini bisa membuat mereka malu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. “Anak saya masih takut pergi sekolah,” kata Eti (43), orangtua A (15).
Menyikapi keluhan tersebut, Komnas PA akan memberikan psikoterapi selama 3-6 bulan kepada para korban. “Terapi mental akan melibatkan orangtua korban dan lingkungan. Hal ini penting agar sang anak tidak merasa sendiri,” kata Arist.
Selain itu, korban akan menjalani tes urine untuk mengetahui tingkat kecanduan terhadap narkoba. Kepada Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat, Arist meminta agar pelaku dikenai Pasal 82 UU Perlindungan Anak.
“Awalnya korban itu kan dijebak dan ditipu dengan iming-iming sejumlah uang. Saat korban tidak mau memenuhi keinginan tersangka, mereka diintimidasi. Kami khawatir tersangka bisa lolos kalau dijerat dengan pasal,” tegasnya.
Tak biasanya VYL melawan kedua orangtua saat ditanya dari mana dia pergi. Padahal, ia biasanya menjawab setiap pertanyaan ayah ibunya. Itulah yang membuat orangtua VYL curiga ada apa-apa dengan anaknya.
“Kalau ditanya, datang dari mana, selalu jawabnya ‘Ah, udah masa bodoh’. Itu terjadi sejak awal Desember 2010 kemarin,” keluh DD, Minggu (23/1/2011) di rumahnya di kawasan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan.
Awalnya, ia tak curiga dengan sikap anak pertama dari dua bersaudara itu. Namun, karena sudah berkali-kali, dia heran dan sering tanya ke istrinya. “Biasanya dia nurut sama kami, enggak tahu kenapa sekarang jadi begitu,” katanya.
DD mengatakan, VYL yang duduk di kelas 1 SMP rajin berangkat sekolah di sekitar Jalan Pariaman walau, ia akui, anaknya sering bolos. Habis pulang sekolah, VYL langsung ke rumah untuk makan siang dan pergi ke tempat biasa kumpul dengan enam temannya.
Kepada Kompas.com, DD menduga anaknya mengisap narkoba karena lebih dari sebulan terakhir, setiap pulang dari tempatnya main, muka anaknya selalu dalam keadaan pucat.
Hal yang sama juga dikatakan Y, orangtua AS. “Bawaannya kalau pulang ke rumah, anak itu pucat, mata lelah, dan suka marah-marah,” ujarnya.
Y sendiri khawatir anaknya kecanduan atau sampai menjual narkoba. “Kalau sudah tiap hari disumpal dengan sabu dan sebagainya, pasti jalan ke depan buat dia akan jadi pecandu dan penjual,” ujar Y yang tinggal di belakang rumah DD.
Yang paling aneh dirasakan ketika anak-anak mereka memasang behel pada giginya, masih pada Desember 2010. Tentu kedua orangtua bertanya, bagaimana anak-anak bisa membeli barang mahal itu.
Warga kelahiran Jakarta itu pun ragu kalau ada teman yang memberikan behel ke anaknya. Setelah ditelusuri, enam teman sepermainan AS juga mengenakan behel.
“Anak bisa beli behel, itu duit dari mana. Anak jawabnya dibeliin sama teman. Ya, kita percaya enggak percaya,” kata DD.
DD melanjutkan, ia yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek dekat Terminal Bus Manggarai itu biasa memberikan uang jajan Rp 20.000 per hari sebelum berangkat sekolah dan Rp 5.000 saat pulang ke rumah.
VYL dan AS adalah dua dari tujuh gadis ABG yang menjadi korban trafficking atau perdagangan anak. Perdagangan anak tersebut terbongkar setelah polisi menangkap Alay dan Dede, konsumen tetap dan mucikarinya, di sebuah kamar di Apartemen Puri Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2011).
Setiap hari lingkungan RW 6, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, biasanya tenang seperti pemukiman kalangan menengah ke bawah. Jalan kecil beraspal dipenuhi anak-anak berlarian ke sana ke mari.
Sementara ibu-ibu berkumpul di sudut jalan ngerumpi soal harga kebutuhan pokok dan bapak-bapak bekerja di sekitar Terminal Bus Manggarai yang tak jauh dari tempat mereka tinggal.
Suasana berubah ketika seorang wanita bernama Dede (23) pindah ke rumah mertuanya di Jalan Saharjo Gang Bakti 4. Sebelumnya, dia tinggal di rumah orangtuanya di Jalan Menteng Sukabumi, Jakarta Pusat.
Belakangan pada Desember 2010, Dede diketahui sering mengajak para gadis dekat rumah barunya untuk makan di sebuah lokasi. VYL, anak DD, dan enam teman kumpulnya adalah yang paling sering diajak Dede sampai akhirnya anak-anak SMP itu terjebak dalam dunia prostitusi. Dede menawarkan anak-anak tersebut kepada para pria hidung belang melalui Facebook.
Menurut DD, Dede sudah dua tahun menyalurkan anak-anak ke pelanggan. “Dia diusir dari rumah orangtuanya di Jalan Menteng Sukabumi gara-gara kerja begituan sampai pindah ke sini dan meracuni anak-anak kami,” kata pria yang berprofesi sebagai tukang ojek di dekat Terminal Bus Manggarai itu.
DD dan keluarga anak korban penjualan anak via Facebook lain menduga, suami Dede yang menganggur ikut terlibat. Kecurigaan itu muncul karena ia sering memperlihatkan HP baru.
“Suaminya pasti ikut karena sehari-hari tidak kerja. HP-nya baru terus dan punya duit banyak,” ujar DD kepada Kompas.com, Minggu (23/1/2011) di depan rumahnya. “Saya lihat suaminya kadang mengantar Dede ke Apartemen Puri Kemayoran pakai motor, terus balik lagi,” imbuhnya.
Meski demikian, hubungan keluarga Dede dengan para warga sekitar umumnya tetap harmonis. Seluruh warga di RW 6 menyatakan dukungan moral kepada keluarga korban penjualan anak melalui Facebook itu. Para keluarga korban berharap, Kepolisian Sektor Metro Jakarta Pusat sanggup menangani dan menuntaskan kasus yang menimpa anak mereka. DD pun siap mendukung penuh anaknya di persidangan seraya menuntut tersangka diberi hukuman yang setimpal.
Selain menangkap Dede, polisi menangkap Alay, konsumen tetap mucikari tersebut di sebuah kamar di Apartemen Puri Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2011). Mereka ditangkap bersama tujuh gadis ABG yang menjadi korban trafficking atau perdagangan anak.
“Saya khawatir karena tersangka Alay ini kan orang berduit. Takutnya, hakim tidak adil beri hukuman,” kata DD yang Kamis (20/1/2011) lalu mendatangi Komisi Nasional Perlindungan Anak pimpinan Arist Merdeka Sirait untuk meminta dukungan dan bantuan sosial bagi anak-anak mereka.
Ade yang ditangkap jajaran Polres Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2011) kemarin, ternyata menjual korban anak baru gede (ABG) melalui jejaring sosial Facebook.
Ade mengaku melakukan bisnis penjualan ABG sebagai pemuas nafsu seksual para hidung belang dengan menawarkan jasanya melalui situs jejaring sosial Facebook. Hal itu sudah berjalan selama dua tahun.
“Saat ini yang bersangkutan tengah menjalani pemeriksaan. Berdasarkan pengakuan sementara, pelaku telah menjalani bisnis perdagangan seks anak di bawah umur ini selama dua tahun. ABG yang dijual korban diduga mencapai puluhan orang,” ungkap Kasat Reskrim Polres Jakarta Pusat AKBP Yoyon Toni Suryaputra, Rabu (19/1/2011).
Berdasarkan penuturan Yoyon, dalam melakukan aksinya tersangka menggunakan situs jejaring sosial untuk menawarkan kepada calon pembeli.
Jika calon pembeli tertarik, pembeli menghubungi dan melakukan penawaran harga. Setelah sesuai, tersangka mengirim ABG ke pemesan di alamat yang disepakati.