Bentrokan antarkelompok warga yang muncul Minggu (26/9) lalu di sebuah perumahan di Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Kaltim), ternyata meluas dan mengakibatkan lima orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka sampai Rabu (29/9) dini hari.
Dampak dari meluasnya bentrokan itu, sekitar 32.000 warga Tarakan, di antaranya para pendatang, mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka menuju ke markas-markas instansi militer dan keamanan. Antara lain, Kantor Polresta Tarakan, markas Batalyon Infanteri Yonif 613/Raja Alam, markas TNI AU, markas TNI AL, Satuan Radar, Asrama Polisi di Jalan Sudirman, dan SDN 029 depan markas Yonif 613/Raja Alam.
Bahkan, untuk memudahkan proses pengungsian, pihak keamanan dan aparat pemerintahan menyediakan angkutan. Selain ke instansi-instansi tersebut, guna menghindari konflik pula, diberitakan bahwa warga Tarakan yang berada di pedalaman melarikan diri ke hutan-hutan dan pegunungan.
“Informasi terakhir, pengungsi terus bertambah, bahkan sekitar 30.000-an orang. Mereka mengungsi ke tempat yang lebih aman karena khawatir kondisi keamanan yang masih rawan,” kata Kepala Markas PMI (Palang Merah Indonesia) Kota Tarakan, Maharaja Laila Hady Candra, Rabu (29/9).
Kota Tarakan sendiri sampai kemarin malam masih mencekam. Pusat-pusat pertokoan dan perkantoran serta sekolah-sekolah tutup. Aparat keamanan dan kelompok-kelompok warga bersenjata tajam terlihat berada di berbagai tempat.
“Awalnya, bentrokan hanya berlangsung di pinggiran kota, mulai di kawasan Juwata hingga ke Jalan Gadjah Mada dan Yos Sudarso. Namun, pagi ini (Rabu) bentrokan sudah meluas hingga ke Selumit Dalam,” ucap salah seorang warga Tarakan yang tinggal di Selumit Dalam, Nanda.
Bersama ratusan warga lainnya, Nanda mengaku saat ini mengungsi di markas Kodim Tarakan.
“Semuanya sudah mengungsi karena takut menjadi sasaran dari orang-orang yang sedang bertikai itu,” ujar Nanda. Kedua kelompok yang bertikai terus terlibat bentrok di beberapa sudut Kota Tarakan.
“Aku masih mengungsi di Asrama Brimob. Mohon doanya kami baik-baik saja,” kata Yuliana Lelita, warga pendatang asal Surakarta, Jawa Tengah, melalui pesan telepon selulernya, Rabu (29/9) pagi.
Lelita mengatakan hingga saat ini kondisi Tarakan masih siaga satu dan mencekam. Warga pendatang dicekam ketakutan dan mengungsi. Menurut Lelita, sejak Selasa (28/9) malam, kelompok warga asli setempat melakukan aksi sweeping terhadap warga pendatang.
“Mereka membakar rumah dan isunya mereka sampai penggal kepala,” kata Lelita seperti dikutip tempointeraktif kemarin.
Warga setempat dan warga pendatang, lanjut dia, saling serang dengan senjata tajam di antaranya parang, mandau (senjata asli lokal) dan tombak.
Lelita mengatakan, sebelumnya dirinya memilih berada di dalam rumah. Namun, karena kondisi semakin mencekam, ia dan anaknya yang berusia 8 tahun kemudian diungsikan di Asrama Brimob pada Rabu dini hari.
“Tidak tahu sampai kapan mengungsi. Karena cuma bawa pakaian seadanya,” ujar dia. Di tempat pengungsiannya di Asrama Brimob, kata dia, terdapat ratusan warga pendatang.
Jumlah pengungsi di setiap lokasi antara 1.500 dan 3.000 jiwa. Eloknya, para pengungsi menanggalkan atribut kesukuan dan bersatu di lokasi pengungsian.
Menurut keterangan dari Divisi Humas Mabes Polri kemarin, bentrokan antarkelompok warga itu bermula ketika pada Minggu (26/9), Abdul Rahmansyah, warga Kelurahan Juanta Permai tiba-tiba dikeroyok lima orang tidak dikenal saat ia melintas di Perumahan Korpri Jalan Seranai III, Juata Kecamatan Tarakan Utara, Kota Tarakan. Abdul mengalami luka-luka di telapak tangan.
Selanjutnya Abdul pulang ke rumah untuk meminta pertolongan dan diantar pihak keluarga ke RSU Tarakan untuk berobat. Besoknya, Senin (27/9), orang tua Abdul, Abdullah Rahmansyah beserta enam orang yang merupakan keluarga dari Suku Tidung berusaha mencari para pelaku pengroyokan dengan membawa senjata tajam berupa mandau, parang dan tombak.
Mereka mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tingga salah seorang dari pengeroyok di Perum Korpri Jalan Seranai III, Juata, Tarakan Utara Kota Tarakan. Penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Kemudian terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah (warga Suku Tidung) dengan penghuni rumah tersebut (kebetulan warga Suku Bugis Latta). Akibatnya, Abdullah meninggal dunia akibat sabetan senjata tajam.
Senin (27/9) dini hari sekitar 50 orang dari kelompok suku Tidung menyerang Perum Korpri untuk melakukan pembalasan. Mereka merusak rumah Noordin, warga suku Bugis Letta. Bentrok kemudian meluas ke mana-mana pada Selasa (28/9) dan Rabu (29/9) dini hari.
Warga pendatang dari Bojonegoro, Koendariyati mengatakan hingga saat ini aktivitas di Kota Tarakan masih lumpuh dan mencekam. “Pendatang berusaha keluar dari Tarakan dengan pesawat atau kapal,” kata Koen melalui pesan pendek.
Pegawai negeri sipil di Tarakan ini mengatakan akan pulang ke Jawa jika kondisi semakin memburuk. Berkali-kali ia meminta doa agar selamat dari bentrokan suku. “Kami sudah di Bandara namun belum bisa keluar. Doakan bisa keluar dari Tarakan secepatnya ya,” kata dia via SMS.
Untuk melokalisir dua kelompok massa yang bertikai, pasukan TNI dan Polri diturunkan di berbagai sudut Tarakan. Kemarin, Gubernur Kaltim Awang Faroek, Wakil Kapolri (Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara), dan Komandan Korem Kolonel Aries Martanto juga tiba di Tarakan untuk memantau dan mengendalikan situasi.
Gubernur Awang Faroek menampik bahwa konflik di Tarakan merupakan konflik etnis.
“Ini kan berawal dari tetangga yang bermasalah. Orangtua bertemu untuk menyelesaikan masalah anak-anak mereka. Tapi malah bentrok karena anak-anak mudanya emosi. Jadi, awalnya hanya pertikaian dua keluarga, tapi karena ada provokator jadi meluas. Sekarang jadi seluruh kota,” kata Awang.
“Sama sekali bukan pertikaian etnis. Ini perselisihan antarwarga yang meluas karena ada provokator.”
Presiden SBY mengaku prihatin dengan situasi di Tarakan, dan sudah menerima laporan dari Kapolri mengenai upaya aparat keamanan dalam menangani insiden tersebut.
“Saya prihatin dengan terjadinya kekerasan antar komunitas, saya sudah menerima laporan dari Kapolri dan sudah berkomunikasi dengan Panglima TNI dan Gubernur Kaltim,” kata Presiden.
SBY mengingatkan agar penanganan insiden tersebut sungguh-sungguh sehingga tidak terulang bentrokan antarkomunitas seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, sepuluh tahun yang lalu. Bentrokan waktu itu antara pendatang beretnis Madura dengan etnis lokal Dayak.
“Saya berharap itu tidak terjadi lagi, dengan syarat langkah yang dilakukan harus terpadu, pejabat turun ke lapangan untuk langkah nyata,” tegasnya