Category Archives: orang hilang

Misteri Pembunuhan Hilda Hidayah Wanita Hamil Di Tol Jagorawi Oleh Hendra Supriatna Terungkap Setelah 1 Tahun

Misteri pembunuhan wanita hamil yang jasadnya ditemukan di pinggir Tol Jagorawi, Makasar, Jakarta Timur, setahun yang lalu akhirnya terungkap. Kasus pembunuhan itu terungkap setelah polisi mendapatkan sebuah petunjuk. “Korban bernama Hilda Hidayah (22), alamat Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat,” kata Kapolsek Makasar Kompol Saiful Anwar.

Identitas korban ini terungkap setelah polisi menangkap pelaku pembunuhan. Dua orang pelaku, yakni Hendra Supriatna (38) dan Muhammad Qhairul Fauzie alias Unyil (20).

Saiful mengungkap pembunuhan ini diotaki oleh Hendra yang sekaligus menjadi eksekutor. Hendra diketahui memiliki hubungan dengan korban.

“Ada, pacaran dia itu,” imbuhnya.

Saiful menyebut Hendra saat itu bekerja sebagai sopir Bus Mayasari Bhakti, sedangkan Unyil adalah kondekturnya. Unyil membantu Hendra karena takut. “Unyil nggak dikasih uang (untuk membantu pelaku utama), tetapi karena dia dipaksa, dia takut, akhirnya ikut bantu,” tuturnya.

“Iya awalnya kita kan belum tahu identitas korban saat itu. Nah kemudian ini ada informasi ke Tim Rajawali, ini dapat info ada pelaku yang membuang mayat di tol,” kata Kapolsek Makasar Kompol Saiful Anwar .

Pelaku pembunuhan wanita hamil yang mayatnya dibuang di pinggir Jalan Tol Jagorawi, Jakarta Timur, akhirnya tertangkap setelah 1 tahun buron. Pelaku berjumlah dua orang ditangkap di lokasi berbeda.
Pembunuhan itu diotaki oleh tersangka Hendra Supriatna (38). Sedangkan temannya, Muhammad Qhairul Fauzie alias Unyil (20), ikut membantu membuang dan mengubur jasad korban di pinggir Tol Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.

“Jadi Tim Rajawali dapat informasi dari masyarakat, ini ada orang dia cerita-cerita membantu sopir buang mayat itu di tol,” sambung Saiful.

Informasi itu kemudian ditindaklanjuti. Polisi kemudian mencari orang yang membuat pengakuan soal mayat wanita hamil di pinggir Tol Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur itu.

“Kita tindak lanjuti, ketemu lah sama si Unyil ini. Si Unyil ini kita interogasi dan dia mengakui membantu tersangka bernama Hendra Supriatna membuang mayat itu di pinggir tol itu,” jelas Saiful.

Polisi kemudian menangkap Unyil di Bekasi. Setelah menangkap Unyil, polisi kemudian melakukan pengembangan dan menangkap Hendra di Semarang, Jawa Tengah pada Selasa (15/12) malam.

Polisi sendiri mendapatkan petunjuk keberadaan Hendra itu dari istrinya di Bekasi. Berdasarkan keterangan sang istri, Hendra bekerja sebagai sopir ekspedisi.

“Kita kan datangi rumahnya di Kranji, Bekasi, ada istrinya. Menurut keterangan istrinya itu dia bekerja di ekspedisi, dia lagi antar barang ke Kebumen,” katanya. Polisi kemudian mengejar Hendra ke Kebumen. Namun Hendra kemudian berhasil ditangkap di Semarang, Jawa Tengah.

Hendra pun akhirnya mengakui pembunuhan itu. Dia mengungkap dirinya dibantu oleh Unyil membuang mayat korban di pinggir Tol Jagorawi pada 7 April 2019 silam.

Tertangkapnya Hendra ini kemudian mengungkap identitas korban. Korban diketahui bernama Hilda Hidayah (21), warga asal Tasikmalaya, Jawa Barat.

Mayat korban ditemukan warga pada Minggu (7/4/2019). Saat itu, seorang warga yang sedang naik angkot yang melintas di lokasi berhenti untuk menangkap burung lovebird yang lari ke arah taman kota Jalan Tol Jagorawi. Saksi itu tidak bisa menangkap burung tersebut karena terbang ke tengah jalan tol.

Ketika hendak kembali ke jalan raya, saksi melihat kaki manusia yang tertutup daun pisang. Setelah diperiksa, ternyata sosok itu jasad wanita.

Saksi kemudian melapor ke polisi lalu lintas yang sedang berjaga di dekat lokasi. Saat ditemukan mengenakan baju warna hijau muda putih motif garis-garis dan ada gambar boneka, celana legging warna hitam list merah.

Jasad korban sendiri telah dimakamkan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, sebulan setelah penemuan mayat. Petugas akhirnya memakamkan jenazah korban karena tidak ada keluarga korban yang melapor polisi.

Saat itu, seorang warga yang sedang naik angkot yang melintas di lokasi berhenti untuk menangkap burung lovebird yang lari ke arah taman kota Jalan Tol Jagorawi. Saksi itu tidak bisa menangkap burung tersebut karena terbang ke tengah jalan tol.

Ketika hendak kembali ke jalan raya, saksi melihat kaki manusia yang tertutup daun pisang. Setelah diperiksa, ternyata sosok itu jasad wanita. Saksi kemudian melapor ke polisi lalu lintas yang sedang berjaga di dekat lokasi. Saat ditemukan mengenakan baju warna hijau muda putih motif garis-garis dan ada gambar boneka, celana legging warna hitam list merah.

Penculikan Siswi SMP Melalui Facebook Untuk Dijadikan Pelacur Berhasil Dibongkar Polisi

Setelah diburu hampir dua pekan, penculik siswi SMPditangkap di rumahnya di daerah Subang,Jawa Barat Kamis (21/10) . Devi Permatasari, 13, diculik setelah berkenalan melalui jaringan face book, dengan  Reno alias Taufik Hidayat,23.

Polisi  mencomot pria itu setelah menyamar sebagai paman korban. “Kami bertamu dan ketika Reno datang langsung menangkapnya,” kata Kapolsektabes Lengkong, AKP Philemon Ginting.

Dia menjelaskan, empat anggota polisi mendatangi rumah tersangka di Kampung Majasari, Pagaden Kabupaten Subang. Saat masuk, anggota yang menyamar diterima orang tua tersangka yang sudah tua. Sesaat kemudian korban Devi keluar dan ikut ngobrol dengan anggota polisi tadi. Sekira pukul 16.00 tersangka yang baru pulang kerja langsung masuk rumah kemudian anggota pun menangkapnya.

Dijelaskannya, orang tua tersangka saat polisi masuk sama sekali tak mencurigai. Bahkan saat petugas memperkenalkan diri selaku paman Devi orang tua itu semakin percaya dan menyuruhnya masuk sambil meminta menunggu Reno yang sedang bekerja. Selang beberapa jam usai anggota itu mengobrol dengan orang tua, tiba-tiba tersangka pun datang. ” Kami langsung menangkap, kemudian membawanya ke Bandung,”.

Tersangka terancam pasal 2 junto Pasal 17 UU RI No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang dengan ancaman hukuman 15 tahun. Pasal 81 ayat 2 UU RI No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 9 tahun. Subsider pasal 332 ayat 2 ancaman hukuman 9 tahun junto 287 KUH Pidana ancaman hukuman 9 tahun, ujarnya.

Devi, mengakui, saat ada sejumlah pria masuk rumah mengaku pamannya sangat terkejut karena tak punya paman berwajah seperti mereka. Namun, timbul rasa tenang lantaran ada pria yang bisa dimintai tolong untuk membebaskannya. ” Saya terkejut saat seorang polisi memberikan HP ternyata Bapak mengajak ngomong. Pria itu anggota polisi. Kamu harus tenang dan jangan ribut,” kata Devi menirukan saran bapaknya.

Korban mengaku, selama dua pekan lebih dirinya berada di Subang di rumah tersangka. Rencananya,  Reno yang kenal melalui FB akan menjual korban ke sejumlah pria hidung belang. ” Saya bersyukur polisi telah menyelamatkan saya. Terima kasih Pak Polisi,” ucap Devi.
Tersangka ketika diperiksa polisi mengaku berencana menjual korban ke sejumlah pria hidung belang

Mahasiswi Kedokteran Undip Hilang, Diduga Diculik Kenalan di Facebook

Kisah petaka terkait jejaring sosial Facebook kembali terjadi. Sylvia, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dilaporkan hilang. Diduga kuat mahasiswa tingkat akhir itu dibawa kabur pria yang dikenalnya melalui Facebook.

Gadis bernama lengkap Sylvia Russarina (23) itu menghilang atau tidak jelas keberadaannya sejak dua minggu lalu. Dia tak pernah berkirim kabar kepada keluarganya di Jambi. Padahal, biasanya perempuan yang sering dipanggil Sylvi itu rajin menelepon ibunya.

“Kami sudah merasa ada keanehan dengan Sylvi sejak dua minggu belakangan ini. Terakhir dia kirim SMS bunyinya ‘mama jangan cari sylvi, sylvi baik-baik aja’,” kata Maria, kakak Sylvi di rumah pamannya di Perumahan Bogor Asri, Blok D III No.13, Cibinong, Jawa Barat, Kamis (11/2/2010).

Maria menambahkan, hal tersebut membuat keluarganya khawatir. Mereka pun mencoba mendatangi kos Sylvi di Jl Solo, tepatnya di depan RS Kariadi, Semarang, Jawa Tengah. Namun Sylvi tidak ada.

Keluarga kemudian berusaha menemui sejumlah teman kuliah Sylvi. Tapi beberapa orang yang ditemui juga mengaku tidak tahu. Sampai akhirnya ada secuil informasi dari salah seorang mahasiswa.

“Katanya Sylvi dekat dengan seorang pria yang dikenal lewat facebook. Pria tersebut terlihat datang beberapa kali ke kos Sylvi,” ujar Maria.

Khawatir terjadi sesuatu, sambung Maria, keluarga kemudian melaporkan hilangnya Sylvi ke Polwiltabes Semarang. Dia berharap, Sylvi bisa segera ditemukan.

“Tapi sampai sekarang belum ada kabar dari polisi,” ungkap Maria dengan berurai air mata.

Menurut Maria, salah satu tantenya sempat mencoba menghubungi handphone Sylvi semalam. Sempat terdengar suara jawaban dari adiknya.

“Tapi tidak lama ada suara pria yang meminta adik saya mematikan handphone-nya,” ujar Maria.

Sylvia Russarina, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Dipenegoro (Undip), diduga dibawa kabur pria yang dikenalnya di facebook. Barang-barang gadis tersebut masih utuh di tempat kosnya.

“Barang-barangnya masih ada,” kata teman kos Sylvia yang enggan disebut namanya, saat ditemui di tempat kosnya, Jl Solo no.11, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (11/2/2010).

Namun saat ditanya lebih jauh, gadis tersebut enggan berkomentar. Dia hanya mengatakan tidak tahu kemana Sylvia pergi.

“Ya tahu-tahu sudah nggak kelihatan di kos,” ungkapnya sambil berjalan pergi.

Kisah hilangnya Sylvia ini diungkapkan kakak kandungnya, Maria. Menurut Maria, Sylvia menghilang sejak 2 minggu lalu. Pihak keluarga sudah berusaha mencari kemana-mana, namun adiknya tak juga ditemukan.

Maria menduga, adiknya dibawa kabur seorang pria yang dikenalnya di facebook. Pria tersebut berinisial AR dan berasal dari Jombang, Jawa Timur. Dugaan tersebut berdasarkan informasi yang didapat S dari sejumlah teman kuliah Sylvia.

“Teman-temannya bilang adik saya suka berpergian bersama pria yang dikenalnya di facebook,” ujar Maria.

Sylvia Russarina, 23, mahasiswi Fakultas Kedokteran Undip yang diduga dibawa lari kenalan Facebook, diketahui mempunyai masalah akademis. Nilai semesternya jeblok.

Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran Undip, Hermanto mengatakan, berdasarkan catatan, beberapa semester terakhir, nilai Sylvia merosot. Ia mengaku tak tahu penyebabnya.

“Rapornya merah. Nilainya terus merosot,” kata Hermanto ketika ditemui di Kampus FK Undip, Kompleks RSUP Kariadi Semarang, Kamis (11/2/2010).

Hermanto tak menjelaskan seberapa jeblok nilai semester Sylvia. Namun ia memastikan, masalah itu sebetulnya bisa diatasi jika Sylvia mau mengikuti semester pendek.

“Saat ini, semester pendek tengah berlangsung. Tapi yang bersangkutan tak ikut,” ungkapnya.

Hermanto mengaku tak tahu menahu kemana perginya Sylvia. Kebetulan, saat ini tengah libur semester, sehingga pihak kampus kesulitan memantau keberadaan mahasiswi asal Jambi itu.

Babeh Pembunuh Berantai Dengan Korban 14 Orang Anak Yang Disodomi Ternyata Teman Robot Gedek

Hasil penyidikan polisi sampai saat ini terungkap, 14 anak di berbagai wilayah dibunuh oleh Baekuni (48) alias Babeh, yang delapan di antaranya dimutilasi. Jumlah korban ini jauh lebih besar dibandingkan kasus Robot Gedek maupun Very Idam Henyansyah alias Ryan.

Demikian diungkapkan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono, yang didampingi Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, dan kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala di Polda Metro Jaya, Senin (1/2).

”Jumlah korban dalam kasus Babeh jauh lebih besar daripada kasus Robot Gedek dan Ryan yang ditangani Polda Metro Jaya,” kata Wahyono.

Korban mutilasi Robot Gedek (1994-1996) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1997 disebutkan enam orang, sementara korban Ryan (2006-2008) 11 orang. Dari hasil pemeriksaan polisi, korban pembunuhan dan mutilasi Babeh sampai saat ini sudah mencapai 14 orang. Babeh membunuh sejak tahun 1993.

Korban Babeh yang sudah terungkap adalah Adi, Rio, Arif Abdullah alias Arif ”Kecil”, Ardiansyah, Teguh, dan Irwan Imran yang dimutilasi, serta Aris, Riki, dan Yusuf Maulana. Empat korban terakhir yang terungkap juga dimutilasi adalah Feri, Doli, Adit, dan Kiki. Rata-rata usia mereka 10-12 tahun, kecuali Arif yang masih berusia 7 tahun.

Kasus pembunuhan yang dilakukan Babeh ini, kata Adrianus, layak menjadi sebuah cerita kriminalitas yang paling mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia.

Kasus Robot Gedek

Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menduga Babeh memiliki peran besar dalam kasus Robot Gedek. Bahkan, Babeh kemungkinan besar memanfaatkan kasus Robot Gedek karena Babeh menjadi saksi utama kasus itu.

Data yang dihimpun Kompas menunjukkan, dalam pengadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1997, di depan majelis hakim yang dipimpin hakim Sartono, Babeh mengaku melihat Robot Gedek menggandeng seorang anak laki-laki di Pasar Jiung, Kemayoran. Anak tersebut dibawa Robot Gedek ke semak-semak.

Sementara itu, Babeh menunggu giliran mendapat kesempatan untuk menyodomi bocah lelaki yang dibawa Robot Gedek. Babeh mengaku menunggu satu jam dan setelah itu mendekati lokasi Robot Gedek. Di lokasi itu, dia menyaksikan Robot Gedek memutilasi korbannya.

Akhirnya Robot Gedek (42) divonis pengadilan dengan hukuman mati pada 21 Mei 1997. Namun sehari sebelum dilakukan eksekusi diketahui bahwa Robot Gedek telah meninggal dunia di RSUD Cilacap karena serangan jantung.

Sampel darah

Sementara itu, Kepolisian Resor Magelang telah mengambil sampel darah Askin (54) dan Isromiyah (44), orangtua Sulistyono, bocah yang diduga korban mutilasi Babeh. Sampel darah ini akan dicocokkan dengan tes DNA dari tulang belulang yang ditemukan di Dusun Mranggen, Desa Kajoran, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

”Sampel darah sudah kami kirimkan untuk diteliti dan dicocokkan dengan hasil tes DNA oleh Dokkes (Bidang Kedokteran dan Kesehatan) Polda Jawa Tengah,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Aris Suwarno, Senin. Proses penelitian dan pencocokan ini kira-kira memerlukan waktu sekitar dua minggu

Warga Rusia Diculik Di Jakarta Oleh Jaringan Narkoba Rusia Yang Bekerjasama dengan Mafia Narkoba Bulan Sabit Iran

Seorang warga negara Rusia berinisial Sev diculik sekelompok pria Rusia yang diduga menjadi salah satu mata rantai jaringan narkoba Rusia. Penculikan terjadi di Jakarta, Senin (1/12). Para pelaku menuntut uang tebusan senilai 200.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,2 miliar.

Sov, istri korban, sudah mentransfer uang sebanyak 18.400 dollar AS atau sekitar Rp 202, 4 juta, tetapi para penculik belum membebaskan Sev. Mereka menuntut Sov memenuhi seluruh tuntutan uang tebusan dulu.

Kasus ini terungkap setelah Konsuler Kedutaan Besar Rusia di Jakarta Vladimir Pronin melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya, Selasa (9/12). Ketika dihubungi kemarin sore, Vladimir membenarkan laporan tersebut.

”Untuk lebih jelasnya, silakan menemui saya di kedutaan besok (maksudnya Kamis ini),” ucapnya dalam bahasa Inggris. Hal yang sama disampaikan seorang konsuler Rusia lainnya, Grennady A Boyko. ”Besok saja, kedutaan sudah tutup,” ujarnya.

Sore kemarin, Wisma Duta Besar Rusia di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, sepi. Tombol bel pintu sudah ditekan dua kali, tetapi tak seorang pun keluar dari wisma tersebut. Di seberang, di Gedung Kedutaan Besar Rusia, dua petugas keamanan yang ditemui menganjurkan datang Kamis pagi. ”Lebih baik datang besok. Kantor sudah tutup,” ucap salah seorang petugas.

Bertemu mitra bisnis

Dalam laporan ke polisi, Vladimir menjelaskan, awalnya suami Sov, Sev, terbang ke Jakarta menemui seorang mitra bisnisnya berinisial K, yang juga warga negara Rusia. Keduanya bertemu Sabtu (29/11).

Hari Senin (1/12), Sev menghubungi Sov, istrinya, memberi tahu bahwa ia berada di satu ruang. Di sana, ia diberi minum mitra bisnisnya. Sev merasa minuman yang ia minum telah dicampur obat.

Dalam keadaan setengah sadar, Sev dihadapkan kepada seorang pria yang membawa sekantong heroin. Pria itu mengaku polisi. Sampai di sini cerita terputus.

Mengomentari bagian ini, Kepala Unit II Badan Narkotika Nasional Komisaris Besar Siswandi menduga kasus ini ada hubungannya dengan sindikat heroin Rusia.

Sepengamatannya, sampai saat ini polisi di Tanah Air belum pernah mengungkap jaringan narkoba Rusia, ”Dan tampaknya memang belum masuk ke sini,” ucapnya.

Meski demikian, kalaupun akhirnya terungkap, Siswandi menduga sindikat narkoba Rusia menumpang jaringan Narkoba Bulan Sabit. Jaringan ini beranggotakan sindikat Iran, Afghanistan, dan Pakistan.

Pada bagian lain laporan Vladimir ke polisi disebutkan, sejak suaminya mengaku diracun dengan minuman, seorang pria Rusia berulang kali menghubungi Sov, menuntut uang tebusan.

Sov lalu mentransfer uang empat kali, masing-masing sebanyak 4.600 dollar AS atau total 18.400 dollar AS. Uang ditransfer dari sebuah bank ke sebuah cabang bank di Bekasi dan Jakarta. Meski demikian, para penculik belum mau membebaskan Sev. Mereka menuntut Sov mentransfer sisa uang tebusan yang belum diserahkan.

Dalam penyelidikan

Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan (Kasat Jatanras) Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Nico Afinta yang dihubungi semalam membenarkan adanya kasus penculikan ini. Ia mengatakan, pihaknya sedang menyelidiki kasus tersebut.

”Identitas korban sudah kami peroleh berdasarkan keterangan istrinya,” tutur Nico yang mengaku sedang memburu sejumlah tersangka bersama rekan-rekan kerjanya. Tentang keberadaan istri korban sekarang, Nico tidak bersedia mengungkapkan. Ia juga tidak bersedia memberi penjelasan lebih jauh mengenai kasus penculikan ini.

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, penculikan terhadap orang asing di Indonesia tergolong jarang. Kasus penculikan terakhir terjadi empat tahun lalu. Umumnya bermotif ekonomi. Neta mengingatkan polisi harus serius menanganinya karena menyangkut citra Indonesia di mata internasional

Marcella Zalianty Menonton Secara Langsung Lewat Bluetooth Penyiksaan, Penelanjangan, Pemerkosaan dan Minum Sperma Dari Korban Yang Ia Culik Hanya Karena Berhutang

Polisi masih memeriksa pembalap Ananda Mikola dan aktris Marcella Zalianty sampai tadi malam dalam kasus penculikan dan penganiayaan desainer interior Agung Setiawan. “Mereka sedang menjalani pemeriksaan tambahan,” kata Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat Komisaris Besar Ike Edwin.

Keduanya bersama tiga orang lainnya sudah diperiksa lebih dari 24 jam sebagai tersangka. Ananda, 28 tahun, dan Marcella, 28 tahun, bersama tiga karyawan Marcella ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis lalu. Tiga karyawan itu adalah M. Harianto, Yoga Mega Permana, dan Ruli Hasbi.

Tadi malam, dua lagi karyawan Marcella dijadikan tersangka. Ananda adalah putra bekas pembalap nasional Tinton Soeprapto. Moreno Soeprapto, adik kandung Ananda, sempat diperiksa sebagai saksi. Ananda dan tiga karyawan Marcella dijerat Pasal Pemaksaan Kehendak dan Penculikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Marcella dituduh merampas kemerdekaan seseorang, menyandera, serta melakukan perbuatan tak menyenangkan.

Pengacara korban, Petrus Balla Pattyona, mengatakan mestinya polisi menahan para tersangka. “Semua unsur untuk segera menahan para pelaku sudah tercukupi,” katanya. Marcella dinilainya mengendalikan penculikan dan penganiayaan terhadap kliennya.

Menurut dia, ada bukti percakapan telepon antara Marcella dan para karyawannya itu. “Semua aktivitas anak buah Marcella dikoordinasikan dengan Marcella melalui hubungan telepon.” Bahkan gambar ketika Agung disiksa ditransfer via Bluetooth ke telepon seluler Marcella.

Polisi belum menerbitkan surat penahanan. Tapi seorang penyidik memberikan isyarat bahwa mereka bakal ditahan. “Mereka pulang nggak sekarang? Ini udah lewat jamnya (pemeriksaan sebagai tersangka),” kata penyidik kepada Tempo.

Pengacara Marcella, Minola Sebayang, dan Heri Subagyo, pengacara Ananda, menyatakan belum menerima surat penahanan klien mereka. “Kami terpikir mengajukan penangguhan penahanan,” ujar Heri kepada Tempo kemarin petang.

Minola menjelaskan, Hari, Yoga, dan Ruli memang karyawan Marcella. Kliennya tak pernah menyuruh mereka menganiaya Agung. Ketiganya “bertindak” karena kesal lantaran Agung memberikan alamat fiktif dalam kontrak. “Apalagi ketika tahu Agung sedang karaoke di Menara Imperium,” katanya.

Semua itu bermula dari kisah Agung yang berutang kepada PT Kreasi Anak Bangsa, yang dipimpin Marcella, sebesar Rp 54 juta. Utang ini muncul ketika ia menggarap interior kantor PT Kreasi di gedung Central Cikini Nomor 58 W-X, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.

Diduga, gara-gara itulah ia “dijemput” karyawan Marcella dari Menara Imperium, Kuningan, lalu dianiaya dan diperlakukan tak senonoh di Hotel Ibis Tamarin, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Rabu dinihari lalu. Agung mengaku dipukul, ditelanjangi, difoto, lalu duburnya dimasuki sendok. “Saya juga disuruh meminum sperma,” ucapnya dua hari lalu.

Tinton Soeprapto menyatakan Ananda tak berada di hotel tempat Agung dianiaya. “Kalau dia berniat mau berantem, tak mungkin pakai baju batik,” ujarnya.

Kemarin tim pengacara korban dan Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menyerahkan bukti rekaman CCTV di Menara Imperium kepada Markas Besar Polri. “Kepala Bareskrim (Komisaris Jenderal Susno Duadji) berjanji mengawal kasus ini,” ucap Usman.

KURSUS KEPRIBADIAN MARCELLA ZALIANTY TIDAK MENGUBAH BANYAK TABIATNYA

Kasus penganiayaan yang menyeret Marcella Zalianty membuat produksi film layar perak berjudul Lastri terhambat. Apalagi belum ada kepastian kapan pemeriksaan oleh polisi bakal tuntas.

Posisi putri aktris senior Tety Liz Indriati tersebut memang menentukan karena ia adalah produser sekaligus pemeran utama film yang disutradarai Erros Djarot itu. “Agenda yang jelas terganggu adalah pembuatan film Lastri,” kata Sheila, manajer Marcella, ketika dihubungi di Jakarta kemarin.

Sebelumnya, pembuatan Lastri tersendat perizinan di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Sheila pun sedang berembuk dengan tim produksi Lastri untuk mengantisipasi persoalan ini.

Marcella bersama kekasihnya, Ananda Mikola, dan tiga karyawan Marcella menjadi tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap Agung Setiawan. Marcella, kelahiran Jakarta, 7 Maret 1980, diancam pasal perampasan kemerdekaan seseorang, penyanderaan, serta perbuatan tak menyenangkan. Agung adalah bekas desainer interior kantor PT Kreasi Anak Bangsa di gedung Central Cikini Nomor 58 W-X, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, yang dipimpin Marcella.

Kasus itu dilatarbelakangi utang Agung kepada PT Kreasi sebesar Rp 54 juta. Agung melaporkan, ia “dijemput” karyawan Sheila, lalu dianiaya dan diperlakukan tak senonoh di Hotel Ibis Thamrin pada Selasa malam lalu. Esok harinya, Agung bertemu dengan Marcella dan Ananda di PT Kreasi.

Nama Marcella, putri pertama pasangan Gozali Amran-Tety Liz Indriati, melambung setelah sukses di dunia sinetron dan membintangi film, seperti Bintang Jatuh, Eliana Eliana, dan Brownies. Bahkan ia dianugerahi Pemeran Perempuan Terbaik oleh Festival Film Indonesia 2005 dalam film Brownies.

Ibunya beberapa kali membintangi film, di antaranya Barang Antik (1983), Hatiku Bukan Pualam (1985), dan Takdir Marina (1986). Olivia Zalianty, adik Marcella, juga aktris film dan sinetron. Tety pernah mengatakan sifat maskulin Marcella muncul ketika kecil sehingga ia mendaftarkannya ke kursus kepribadian dan perlombaan model tapi ternyata tidak banyak mengubah kepribadiannya.

ANANDA NIKOLA SANG PEMBALAP NASIONAL DARI HERO KE ZERO

Jika kasus hukum yang melilit Ananda Mikola tak juga selesai, pembalap Formula A1 itu terancam batal mengikuti 10 seri balap Super Star, yang mulai berlangsung pada Februari 2009. “Bisa saja batal,” kata Tinton Soeprapto, ayah Ananda, kepada Tempo kemarin. Super Star adalah arena bagi para pembalap yang tidak bisa mengikuti Formula 1 dan juga World Series.

Menurut Tinton, Ananda tak bisa diganti dalam ajang ini karena pesertanya harus memiliki lisensi A Eropa. Padahal dialah satu-satunya pembalap Indonesia yang memiliki lisensi itu. “Tidak ada yang bisa gantikan Nanda,” katanya.

Ananda Mikola Soeprapto–lahir di Jakarta, 27 April 1980–pertama kali mengikuti lomba balap pada 1993, ketika usianya baru 13 tahun, dengan kendaraan Honda V-Tech Grup N. Pembalap favoritnya adalah mendiang Ayrton Senna, juara dunia tiga kali Formula 1 asal Brasil.

Kata “Mikola” di belakang nama Ananda diadopsi dari nama pereli veteran dan mantan juara dunia Hannu Mikola. Tinton Soeprapto, yang pernah menjadi navigator Hannu Mikola dalam kejuaraan reli di Indonesia pada 1976, sangat terkesan dengan pembalap Finlandia itu sehingga memakai Mikola sebagai nama belakang Ananda.

Nanda–begitu Ananda Mikola biasa dipanggil–bercita-cita ingin tampil di Formula 1, arena balap paling bergengsi di dunia. Bakat balapnya sudah ia perlihatkan ketika masih kanak-kanak dan berkali-kali menjuarai lomba balap sepeda BMX pada 1986.

Ananda tampil di Formula 3.000 pada 1999 hingga 2001. Pada musim lomba 2005, dia menjuarai Asian F3. Ananda ikut membela tim A1 Indonesia di arena A1 GP selama dua musim, yaitu 2005/2006 dan 2006/2007. Pada 2008 ini, Indonesia diwakili Satrio Hermanto.

Di arena Speed Car–arena balap yang mirip balapan Nascar di Amerika–Ananda tampil di empat seri di Uni Emirat Arab, Bahrain, Indonesia, dan Malaysia. Lomba ini digelar pada akhir 2007 hingga pertengahan 2008. Di Sirkuit Sentul, Ananda menempati urutan ketiga. Juni lalu, Ananda berada di urutan ketiga Formula 3.000 di Italia.

“Saya bangga pada Ananda karena dia selalu memberikan prestasi buat saya,” kata Tinton. Entah kasus penculikan dan penganiayaan berat ini termasuk prestasi atau tidak menurut Tinton.

Media Massa Indonesia Tidak Memiliki Etika Yang Penting Laku dan Banyak Kunjungan

Kegelisahan masyarakat terkait praktik media massa akhirnya muncul juga.

Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi.

Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi.

Dua wilayah etika media

Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Namun, sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi.

Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya.

Berita dan kompetisi wacana

Konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik. Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.

Di manakah posisi media massa? Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih timbul masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

R Kristiawan Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Televisi Indonesia Sebuah Industri Kejahatan

Berbagai berita kejahatan yang disajikan media, terutama televisi, dinilai mampu menginspirasi khalayak melakukan aksi-aksi kriminalitas.

Hal ini terbukti dari mutilasi yang dilakukan Sri Rumiyati (48). Perempuan yang akrab disapa Yati itu mengaku menirukan cara Very Idam Henyansyah (Ryan) dalam membunuh salah satu korbannya. Yati memotong mayat suaminya, Hendra, guna menghilangkan jejak.

Dalam catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 terjadi 13 peristiwa pembunuhan mutilasi di Indonesia. Angka tertinggi untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Pada tahun 2007 terjadi tujuh peristiwa mutilasi (Kompas, 10/11/2008). Apakah tingginya kasus mutilasi merupakan akibat televisi gencar menayangkan kasus-kasus yang ditiru anggota masyarakat lainnya? Lebih mengerikan lagi, kejahatan telah menjadi industri tontonan yang dihadirkan televisi?

Tidak mudah menyimpulkan, berita kejahatan yang disajikan televisi berpengaruh langsung bagi khalayak. Ada tiga perspektif yang dapat dikemukakan. Pertama, media dipandang memiliki kekuatan penuh mendikte perilaku khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap pasif sehingga merespons begitu saja stimulus yang digelontorkan media. Situasi masyarakat yang penuh alienasi, isolasi, depresi, dan tingkat pengangguran tinggi merupakan lahan subur bagi media dalam menancapkan pesan-pesan kejahatan.

Kedua, media dipandang amat lemah untuk memengaruhi khalayak. Dalam kondisi ini, khalayak bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan media. Daya intelektualitas, level ekonomi, atau usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat dikesampingkan.

Ketiga, media memiliki dampak terbatas bagi khalayak. Hal ini dapat terjadi karena media dipandang sebagai salah satu faktor, selain faktor-faktor lain, seperti kematangan psikologis, konteks sosial yang melingkupi individu-individu, dan daya selektivitas khalayak terhadap muatan media sehingga media bisa berpengaruh pada tingkat gagasan, sikap, atau perilaku.

Fenomena yang tidak boleh dianggap sepele adalah televisi terlalu permisif untuk menampilkan kasus-kasus kriminalitas. Adegan rekonstruksi yang secara rutin ditampilkan televisi telah menjadi tontonan keseharian. Industrialisasi kejahatan menjadi kian marak digulirkan televisi. Kejahatan dikemas secara masif dan berulang-ulang dalam ruang keluarga. Alasan utama yang menjadi dalih klise ialah tontonan kejahatan amat diminati khalayak. Hasrat penonton menjadi justifikasi yang tidak boleh disanggah. Rating, sharing, atau perhitungan komersial mengakibatkan kriminalitas mudah dikonsumsi.

Mistifikasi pasar

Ketika para pengelola televisi berdalih tingginya berita-berita kejahatan yang ditampilkan karena permintaan konsumen, maka terjadilah mistifikasi pasar. Artinya, pasar dianggap sebagai kekuatan penentu yang tidak dapat dibantah. Padahal, dalam pasar itu ada mekanisme penawaran dan permintaan. Selera pasar bisa diciptakan dan diarahkan. Pasar tontonan seolah berlangsung secara alami, padahal yang sebenarnya berlangsung di pasar kemungkinan dapat direkayasa.

Pasar mendorong jurnalisme berita kejahatan sekadar mengabdi kepentingan modal dan pelipatgandaan keuntungan. Kenyataan ini berlangsung konsisten karena, seperti dikatakan John H McManus (Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware?, 1994), pasar memiliki enam karakteristik, yaitu (1) kualitas dan nilai ditentukan konsumen ketimbang produsen atau pemerintah; (2) responsif terhadap konsumen; (3) koreksi diri karena pasar bersifat fleksibel; (4) motivasi konstan dari pelaku pasar untuk berkompetisi; (5) mengandalkan efisiensi; dan (6) konsumen bebas untuk menentukan pilihan.

Namun, nilai yang sering diabaikan pasar ialah moralitas. Pasar televisi tak pernah menggubris apakah tayangan berita kriminalitas berdampak buruk bagi khalayak. Doktrin utama pasar adalah semua tontonan dijual bagi konsumen. Apakah konsumen menjadi berperilaku jahat karena meniru adegan sadisme yang ditayangkan, para produsen tontonan tidak peduli. Bahkan, produsen cenderung menyalahkan khalayak yang dianggap tidak bisa bersikap kritis terhadap berita-berita kriminalitas. Itulah yang dalam bisnis dinamakan externalities, yakni kehancuran dan imoralitas sosial yang terjadi dianggap di luar tanggung jawab media. Televisi tidak pernah keliru karena konsumen sendiri yang dinilai tahu risikonya.

Dilanda anomi

Industrialisasi kejahatan yang dijalankan televisi secara potensial dan nyata mampu menciptakan inspirasi bagi aksi- aksi kejahatan berikutnya. Hal ini mudah dipicu saat masyarakat dilanda anomi, yakni situasi tanpa norma. Pada situasi anomi, tatanan komunitas dan sosial merosot, digantikan rasa keterasingan dan kekacauan. Dalam situasi anomi, terjadi penekanan berlebihan pada tujuan-tujuan hidup, tetapi cara-cara meraih tujuan itu tidak mampu disediakan secara mencukupi yang dikarenakan nilai-nilai kebaikan yang semuanya relatif seperti koruptor dihormati dan disegani. Salah satu kekuatan kunci yang terlibat dalam penanaman tujuan-tujuan hidup adalah media. Media pula yang mengajarkan bagaimana menjalankan kejahatan untuk meraih tujuan hidup itu (Yvonne Jewkes, Media and Crime, 2005).

Televisi berulang memberi contoh bagaimana cara menerabas hukum dapat digunakan untuk meraih tujuan hidup yang dianggap sukses. Meski itu dianggap tindak kejahatan, yang berarti pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma, tetap saja diimitasi individu-individu tertentu. Sebab, mereka berpikir tiada cara lain yang lebih baik ketimbang beraksi sebagai kriminal. Di situlah televisi menanamkan perilaku kejahatan dan masyarakat melakukan pembelajaran. Mereka yang melakukan peniruan itu biasanya dari kelompok marjinal yang tidak punya akses untuk meraih tujuan hidup yang baik yang juga dikarenakan koruptor-koruptor yg duduk dipemerintahan.

Lazimnya, industri kejahatan yang diandalkan televisi adalah kasus-kasus kriminalitas jalanan yang melibatkan kaum pinggiran. Bukankah kejahatan jalanan mudah memancing sensasi karena melibatkan kekerasan fisik yang berdarah-darah? Klop dengan dogma industri kejahatan di televisi yang berbunyi: If it bleeds, it leads. Semakin berdarah-darah semakin meriah karena masyarakat yang dilanda anomi seperti Indonesia sangat haus darah seperti zaman romawi kuno.

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Wanita Asal Lampung Diduga Menjadi Pelaku Mutilasi Di Bus Mayasari

Polisi menunda menyebar sketsa wajah wanita pembawa mayat potong 13 yang ditinggal di bus untuk penyidikan lebih lanjut. Alasannya keluarga H Hasan, pria yang diduga sebagai korban mutilasi, mengenal sosok perempuan itu.

Sumber Pos Kota menyebutkan perempuan berambut pendek itu suka merokok dan berasal dari Lampung. Dia termasuk salah satu dari sekian teman wanita yang cukup dekat dengan makelar tanah yang tinggal di Bekasi tersebut.

Meskipun hasil tes DNA belum diumumkan polisi, namun penyidikan mulai mengarah kepada H Hasan Basri sebagai korbannya. Keluarga Hasan sendiri kini tertutup, bahkan istri dan ibunya syock dan mengurung diri di rumah.

Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman saat dikonfirmasi mengatakan tidak mau gegabah dalam menyimpulkan siapa korban mutilasi. Sketsa wajah pembawa bungkusan potongan mayat belum disebar karena identitas korban belum dipastikan.

“Kita tidak mau salah identifikasi, kita masih menunggu kecocokan tes DNA. Penyidikan memang mulai mengerucut,” kata kapolda usai sertijab Kapolri di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (9/10).

GOLONGAN DARAH B
Ahli Forensik RSCM, dr Mun’im Idris mengatakan, belum mengetahui secara pasti penyebab kematian korban sebelum akhirnya dimutilasi. “Baru ditemukan tusukan di bagian tubuhnya. Golongan darah korban adalah B,” katanya.

Tim penyidik Polda Metro Jaya mengaku kesulitan mengungkap kasus potongan tubuh manusia yang ditinggal di bus Mayasari Bakti P 64 jurusan Pulogadung-Kalideres pada 29 September 2008 itu.

Kanit Jatanras Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kompol J.Saragih mengku penyelidikan terfokus pada pencarian identitas korban karena bukti yang dimiliki polisi sangat minim.

“Kami belum bisa mempublikasikan sketsa wajah itu karena belum sempurna. Bukti yang bisa dipublikasi hanya tato macan,” dalih Saragih.

Dia mengimbau masyarakat yang keluarganya hilang dan mempunyai ciri tato macan untuk segera melapor. “Hingga saat ini baru ada dua warga melapor salah satunya keluarga Hasan Basri dari Bekasi,” katanya.

KELUARGA HASAN TERPUKUL
Ditemui di rumahnya di Bekasi, keluarga H Hasan Basri terlihat terpukul meski polisi belum menyimpulkan siapa korban mutilasi itu. “Istri Haji Hasan dan ibu saya sekarang syock, tidak mau keluar rumah,” kata H Mustofa, adik Hasan.

Berbeda dengan beberapa hari sebelumnya saat baru melapor kehilangan kakaknya, H Mustofa kini tak mau banyak komentar. “Semua kami serahkan ke polisi,” tambah Mustofa yang berencana akan ke Cirebon untuk mencari pembuat tato macan di lengan kakaknya.

Pelaku Mutilasi Di Bus Mayasari Diduga Mengidap Kelainan Seksual

Pelaku mutilasi di Bus Mayasari diduga kuat mengidap kelainan seksual. Hal itu terlihat dari bentuk sayatan dan cara pemotongan tubuh korban yang dilakukan pelaku. Meski demikian, polisi masih belum menemui titik terang mengenai kepastian identitas pelaku maupun korbannya.

“Mutilasi biasanya dilakukan untuk menghilangkan jejak atau dilatarbelakangi oleh kelainan seksual pelakunya,” kata dr Mun’im Idris, ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), usai gelar perkara kasus mutilasi di Mapolda Metro Jaya, Rabu (8/10).

Meski demikian, Mun’im belum bisa menentukan jenis kelainan seksual yang diderita oleh pelaku. “Belum tentu homoseksual karena bentuk kelainan seksual itu bermacam-macam,” katanya. Mun’im menambahkan, tidak menutup kemungkinan pelaku menggunakan kekerasan ketika berhubungan seks.

Kesimpulan yang menyatakan pelaku diduga mengidap kelainan seksual terlihat dari 13 potongan tubuh korban mutilasi yang ditemukan di dalam bus Mayasari Bakti P64. Salah satu potongan tubuh tersebut adalah bagian kemaluan pria dan potongan kulitnya. “Banyak bagian tubuh korban yang dihilangkan oleh pelaku,” kata Mun’im.

TES DNA
Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya, Kombes dr Agus Prayitno, mengatakan, pihaknya segera melakukan tes Deoxyribo Nucleic Acid(DNA) terhadap tubuh korban. “Nanti hasil tes DNA akan dicocokkan dengan DNA keluarga yang merasa kehilangan,” kata Agus.

Kasat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya, AKBP Fadhil Imran, mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan ciri-ciri tambahan yang menunjukkan identitas korban. “Tinggi badannya 170 Cm memiliki ukuran sepatu di atas 40,” katanya. Selain itu, korban merupakan pria dewasa yang sudah disunat.

Fadhil menambahkan, korban merupakan seorang pria yang sering menjalani terapi kesehatan tubuh. “Korban memiliki kebiasaan merawat kesehatan tubuh,” kata Fadhil. Namun, lanjutnya, belum diketahui jenis perawatan tubuh seperti apa yang dilakukan oleh korban

Hingga Rabu (8/10), baru ada dua keluarga yang mengaku mengetahui korban, namun polisi belum bisa memastikan kebenarannya. Kalau ada keluarga yang kehilangan silahkan melaporkannya ke call centre Polda Metro Jaya: 08129508867

Sumber Pos Kota