Polda Metro Jaya berhasil menggulung komplotan pelaku pembobol bank milik negara, Selasa (29/3). Sepuluh tersangka dibekuk polisi, seorang di antaranya Wakil Kepala Cabang Bank BNI Margonda, Simprug, Jakarta Selatan.
Kepala Satuan Fiskal Moneter dan Devisa Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Aris Munandar, Rabu, mengungkapkan, selain menangkap pembobol Bank BNI, polisi juga menangkap otak pelaku pembobol dana PT Taspen di Bank Mandiri dan Bank BRI.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi memastikan kepolisian akan mengusut tuntas kejahatan perbankan, seperti kasus pembobolan dana nasabah.
Ito menilai kejahatan perbankan dapat muncul karena kelemahan di sistem perbankan. ”Bank harus bertanggung jawab atas dana nasabah,” katanya. Karena itu, diperlukan audit reguler dari lembaga pengawas independen yang dikontrol Bank Indonesia.
Bank BUMN
Menurut Aris, semua tersangka sudah dibekuk. ”Dalam kasus pembobolan dana BRI sebesar Rp 130 miliar, kami menangkap enam tersangka. Dalam kasus dana Tabungan Asuransi Pensiunan (Taspen) di Bank Mandiri sebesar Rp 110 miliar, kami menangkap otak pelakunya, residivis AF (38) dan beberapa tersangka lain,” katanya.
AF, warga Tambun, Bekasi, membobol dana pensiun Taspen tahun 2009 dan ditangkap pada Senin malam lalu. Namun, menurut Vice President Corporate Bank Mandiri Sukoriyanto Saputro, kasus pembobolan dana pensiun ini terjadi tahun 2007.
Saat diperiksa, AF mengaku mendapat bagian uang Rp 15 miliar. Aris berjanji akan memaparkan rincian kasus pembobolan di Bank BRI, Kamis ini.
AF, kata Aris, melakukan aksinya sejak tahun 1999. ”Dia sudah beberapa kali membobol bank di beberapa kota besar di Pulau Jawa. Sasarannya selalu bank BUMN. Ia beraksi dengan melibatkan orang dalam.
Dalam kasus pembobolan Bank BNI, AF bekerja sama dengan JKD (36), Wakil Kepala Cabang BNI 46 Margonda, Simprug, Jakarta Selatan, yang memalsu kredit lewat sentra kredit menengah (SKM). Dengan cara itu, JKD meminta Bank BNI Gambir, Jakarta Pusat, mengucurkan kredit fiktif senilai Rp 4,5 miliar ke kantor cabang.
Selain AF dan JKD, polisi juga menahan tersangka NCH (39), warga Cijantung; UK (48), warga Pisangan Timur; dan SHP (40), warga Pondok Aren. Kepada AF, JKD membocorkan nomor test key yang menjadi kode pencairan kredit. Salah satu perusahaan fiktif yang bakal menerima kredit adalah PT Bogor Jaya Elektrindo (BJE) yang dibuat AF-JKD untuk menampung kucuran dana.
Tanggal 20 Desember 2010 test key dimasukkan dalam teleks SKM yang sudah dipalsukan. Teleks kemudian difaksimile ke Bank BNI Gambir. Teleks adalah sarana perintah bayar kepada kreditor yang ditunjuk SKM. Dalam teleks itu seolah-olah SKM memerintahkan BNI Gambir mencairkan dana Rp 4,5 miliar ke PT BJE.
Petugas Bank BNI Gambir ternyata cermat. Petugas mengonfirmasi teleks ke SKM, yang ternyata SKM tidak memerintahkan mencairkan uang ke PT BJE.
Aris menambahkan, sebelum mencairkan dana, petugas Bank BNI telah melakukan dua kali pemeriksaan. Pertama dengan tester, yaitu proses untuk mengecek silang validitas nomor teleks yang berlaku ketika menerima perintah teleks. Begitu valid, bagian administrasi membuka rekening kredit atas nama BJE.
Langkah terakhir, pembayar memindahbukukan rekening ke rekening perusahaan. ”Saat hendak dibayar, ternyata isi berita teleks tak sesuai. Saat dikonfirmasi keesokan harinya, ternyata berita teleks itu palsu,” ujar Aris.
Tiga lapis
Direktur Utama Bank Mandiri Tbk (Persero) Zulkifli Zaini mengatakan, selama ini Mandiri memiliki tiga lapis pencegahan, yakni di setiap cabang, kontrol internal regional di setiap wilayah, dan direktorat audit internal di kantor pusat. Pencegahan semacam itu untuk menjaga kepercayaan nasabah.
Pada Februari lalu Polda Metro Jaya menangkap pembobol bilyet deposito senilai Rp 18,7 miliar di Bank Mandiri. Kasus yang terjadi pada April 2009 itu dilaporkan Bank Mandiri kepada polisi pada awal Februari 2011.
Salah satu tersangka pembobolan itu adalah karyawan customer service Bank Mandiri yang bertugas terhadap bilyet deposito tiga nasabah. Tanpa seizin ketiga nasabahnya, bilyet deposito itu dicairkan dan ditransfer ke rekening lain (Kompas, 24/2).
Sekretaris Perusahaan BNI Putu Bagus Kresna melalui siaran pers menjelaskan, sistem internal BNI mendeteksi transaksi mencurigakan senilai Rp 4,5 miliar pada 20 Desember 2010. Setelah diverifikasi, ternyata transaksi tersebut palsu.
Pada 23 Februari 2011 transaksi itu dilaporkan kepada Polda Metro Jaya. Selanjutnya, polisi menindaklanjuti dan salah satu tersangka yang ditangkap itu adalah Wakil Kepala Cabang BNI Margonda.
Hal yang sama dilakukan PT BRI Tbk (Persero). Menurut Sekretaris Perusahaan PT BRI Tbk Muhamad Ali, BRI menerapkan sistem pengawasan internal, salah satunya dengan mencetak semua transaksi pada keesokan paginya. Dari hasil cetak itu akan diketahui hal-hal atau transaksi yang tidak wajar.
”Prinsipnya kami berintegritas tinggi. Namun, apabila dedikasi tidak bagus, sebagus apa pun sistemnya, akan terjadi hal semacam itu juga,” kata Ali.
Kasus pembobolan terakhir kali menimpa BRI Cabang Panakkukang, Sulawesi Selatan, senilai Rp 30 miliar. Kasus itu dilaporkan BRI Panakkukang pada 24 Januari 2011.
Tigor M Siahaan, Country Business Manager Institutional Clients Group Citi Indonesia, bank yang juga dilanda pembobolan oleh karyawannya senilai Rp 17 miliar, mengatakan, nasabah perbankan diminta hati-hati dalam bertransaksi. Jangan pernah menandatangani formulir transfer atau cek kosong. Selain itu, selalu meneliti materi pernyataan bank karena berpotensi disalahgunakan orang lain.
Kantor Bank BNI Cabang Gambir, Jakarta Pusat 20 Desember 2010 lalu. Mesin telex berderit-derit. Lembar demi lembar kertas keluar dari mesin jatuh di atas meja. Semua surat yang masuk melalui telex kemudian di seleksi dan diserahkan kepada yang berhag menerima.
Manajemen Bank BNI Cabang Gambir terpaku pada salah satu telex. Dikirim atas nama pejabat Sentra Kredit Menengah BNI. Pesan yang tertulis memerintahkan pencairan kredit sebesar Rp 4,5 miliar kepada PT Bogor Jaya Elektrindo. Bank mencurigai telex itu palsu.
“Ada percobaan pembobolan bank,” Kepala Satuan II Fiskal, Moneter, dan Devisa Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Aris Munandar mengatakan pada wartawan, Rabu (30/3) di Jakarta.
Menyadari telex tersebut palsu, manajemen bank melakukan penyelidikan internal. Akhir Februari lalu Bank BNI membawa kasus ini ke Polda Metro Jaya. Lima orang yang diduga sebagai pelaku ditangkap, yaitu JKD, AF, NCH, UK, dan SHP.
NCH, UK, dan SHP pernah berusaha mengambil cek dana sebesar Rp 50 juta yang ada di rekening penampung di BNI Cabang Pasar Rebo.
JKD adalah Wakil Kepala BNI Cabang Margonda yang berperan untuk membuat contoh telex dengan kode-kode yang hanya diketahui orang dalam. Sedangkan AF bertindak menginstruksikan tiga tersangka lain untuk membuka rekening penampung dan membuat telex palsu.
Sementara itu AF yang memiliki nama asli Ahmad Fadilah alias Andre Aminuddin bukan orang baru dalam kejahatan perbankan. Ahmad bahkan merupakan buron polisi untuk kasus yang sama. Dia sempat tersangkut kasus pembobolan dana Taspen di Bank Mandiri senilai Rp 110 milyar. Dalam kasus itu, AF mendapat bagian lebih dari Rp 15 milyar.
Dalam melakukan aksinya Ahmad sering bergonta ganti rekan. Pria berusia 38 tahun ini juga tercatat pernah terlibat membobol sebuah bank di Bandung dan ikut dalam jaringan buronan Bank Indonesia, Richard Latif.
Entah kebetulan atau tidak, pada saat hampir bersamaan polisi juga mengungkap pembobolan Bank Citibank senilai Rp 17 miliar oleh karyawatinya sendiri, Melinda Dee. Trik yang digunakan perempuan berusia 47 tahun ini adalah dengan menyulap blanko investasi kosong yang ditandatangani nasabah untuk pencairan dana, namun uang tersebut tidak diinvestasikan. Melinda mengalirkan duit sejumlah Rp 17 miliar ke rekening perusahaan pribadinya, dengan bantuan seorang teller berinisial D.
Modus yang dilakukan tersangka tersebut menurut Juru Bicara Marka Besar Kepolisian Ri Inspektur Jenderal Anton Bahrul Alam tergolong kategori baru. Apalagi nasabah yang ditangani bermodal ratusan juta rupiah.”Sehingga pelaku seolah dengan mudah meraup dana dalam jumlah besar,” kata Anton.
Sitem perbankan sebenarnya sudah cukup kuat untuk mencegah terjadinya pembobolan oleh kalangan internal bank. “Tapi itu memang tidak bisa menjamin 100 persen,” katanya.