Category Archives: hipnotis

Bank BTN Kalijati Subang Jawa Barat Dirampok Dengan Hipnotis

Seorang perempuan menghipnotis Dea, seorang teler Bank BTN Kalijati, Subang, Jawa Barat, Selasa, 24 Juli 12, pukul 13.30 WIB. Hanya dengan gosokan balsem, perempuan itu berhasil menghipnotis korban dan membawa kabur uang tunai Rp 185 juta dari meja korban.

Saat kejadian, Dea sedang menghitung uang setoran yang diperoleh dari para nasabah. Lalu datang perempuan berkerudung dengan kaca mata ke meja Dea. Dia berpura-pura akan mengambil tabung. Dia lalu menanyai Dea, “Sakit neng?” Dea pun mengangguk.

Lalu, perempuan itu mengeluarkan balsem dan menggosokannya di bagian kening dan leher Dea. Tak berapa lama Dea tak sadarkan diri. Dalam kondisi tersebut, perempuan itu dengan leluasa membawa kabur uang di meja Dea.

“Saya baru sadar setelah uang lenyap dari tangan saya,” kata Dea kepada polisi di Polsek Kalijati.

Kepala Polsek Kalijati, Ajun Komisasris Undang Sudrajat, mengatakan aksi penjahat itu terekam dalam kamera CCTV di kantor bank BTN Kalijati itu. “Kami sedang melakukan pengejaran,” kata Undang.

Jangan Terima Telpon Dari Nomor 082141615205 Karena Penerima Akan Menguliti Wajahnya Sendiri

Korban gendam lewat telepon dari seseorang yang mengaku Heri Sisworo, Plt Sekda Pemkab Tuban ternyata bukan hanya lima orang petugas pemadam kebakaran (PMK) saja. Belakangan terungkap bahwa ada sejumlah korban lain, sehingga total korban gendam kuliti wajah di Tuban diperkirakan mencapai puluhan orang.

Korban lain termasuk pegawai Kecamatan Kota, Kecamatan Palang, Kecamatan Soko, petugas rumah sakit dan warga Kelurahan Sendangharjo.

Modusnya sama persis. Para korban mendapat telepon dari nomor ponsel 082141615205 yang mengaku sebagai Plt Sekda Tuban. Melalui hubungan telepon tersebut, korban juga diminta untuk menjadi kuda dan penggembala kemudian disuruh menyakiti dirinya sendiri seperti yang dilakukan lima petugas PMK yang sampai merusak wajahnya sendiri dengan mengusap-usapkan ke pohon Siwalan, tembok, cor bahkan menggunakan parut (alat untuk menghaluskan buah kelapa). “Memang, selain para petugas PMK seperti yang sudah diberitakan tersebut, ada beberapa lagi kasus serupa,” kata Heri Sisworo saat ditemui Surya, Jumat (11/3).

Pihaknya mengetahui permasalahan ini dari para camat dan atas laporan dari sejumlah pegawai Pemkab Tuban. “Saya ditelepon Camat Plumpang, katanya ada salah satu stafnya yang mendapat telepon dari saya. Selain itu, saya juga menerima laporan dari Camat Kota, Camat Soko, petugas rumah sakit dan warga Sendangharjo yang menerima telepon serupa. Beberapa memang belum sempat sampai menyakiti dirinya sendiri, namun ada juga yang sudah sampai menjadi korban dengan berguling-guling di tanah dan sebagainya,” ungkap Heri.

Awalnya, dirinya juga kurang percaya dengan kabar ini. Namun, setelah ada banyak laporan dan telah jatuh korban, pihaknya akan mengusut perkara ini. “Setelah saya meminta bantuan pegawai untuk menelusuri permasalahan ini, ternyata benar bahwa semua korban mendapat telepon dari nomor yang sama,” ujarnya sambil menunjukkan nomor telepon tersebut. “Padahal, nomor saya bukan itu. Dan saya tidak pernah pakai nomor lain selain nomor saya sendiri,” imbuhnya.

Sementara itu, Jumat pagi kemarin Ahmad Soleh, petugas PMK yang telah menjadi korban gendam hingga nekat merusak wajahnya sendiri menggunakan parut mendatangi Polres Tuban untuk melaporkan kejadian ini. Dengan didampingi Kepala PMK Tuban, Khoirul Samsi, korban berharap polisi bisa menangkap dan memberi hukuman kepada pelaku.

“Memang semuanya ada lima orang korban. Tapi yang paling parah adalah saya Pak. Dan saya melapor ini supaya pelakunya bisa ditangkap,” kata Soleh saat menjalani pemeriksaan di ruang penyidik Unit IV Sat Reskrim Polres Tuban. “Saya benar-benar tidak sadar ketika menyiksa tubuh saya sendiri,” tambahnya.

Dalam laporannya, Soleh juga memberikan nomor telepon yang menghubunginya hingga dirinya melakukan tindakan bodoh tersebut. Nomor inipun, sama dengan nomor yang diterima semua korban yang telah menjadi korban gendam dengan mengatasnamakan Plt Sekda Tuban.

Kasat Reskrim Polres Tuban AKP Budi Santoso telah menerjunkan tim dari Unit IV dengan dibackup tim Buser Sat Reskrim Polres Tuban untuk mencari keberadaan pelaku. “Kita masih melakukan penyelidikan atas perkara ini. Semoga, dalam waktu dekat pelaku bisa kita temukan,” jawab Budi.

Menurutnya, dalam perkara ini pelaku bisa dijerat pidana. Sebab, dalam tindakan tersebut ada unsur ancaman dan sebagainya.

Diketahui sebelumnya, ada lima orang petugas PMK Tuban rela menganiaya dirinya sendiri setelah mendapat telepon dari seseorang yang mengaku Heri Sisworo, Plt Sekda Tuban. Si penelepon memerintahkan para korban menjalankan ritual menguliti wajah. Jika tidak menuruti, mereka diancam akan dimutasi ke daerah terpencil.

Mereka merusak wajahnya sendiri dengan parut, cor dan pohon Siwalan hingga wajahnya seperti dikuliti. Kelima petugas PMK tersebut antara lain, Ahmad Soleh, Cokro, Joko Suparmo, Anang dan Joko Sunarto. Dari kelima korban, yang mengalami luka paling parah adalah Ahmad Soleh, petugas PMK asal Kelurahan Kingking, Kecamatan Kota, Tuban yang telah merusak wajahnya dengan parut dan membentur-benturkan ke tembok cor.

Belajar Ilmu Hitam Karena Ingin Awet Muda Malah Memperkosa 40 Gadis ABG

Ritual Lie Sidharta Limantara yang akrab disapa Steven untuk mewujudkan impiannya menjadi pria awet muda, tergolong nyeleneh. Lelaki 41 tahun itu bertekad berhubungan intim dengan 40 gadis belia sesuai dengan saran guru spriritualnya. Namun ia keburu ditangkap polisi setelah mengencani gadis ke-16.

Kebanyakan korban Steven adalah siswi kelas III di salah satu SMP swasta di kawasan Surabaya timur. Di kalangan paranormal, aliran ilmu hitam yang didalami warga Jl Dharmahusada Indah Utara I-B itu disebut Batara Karang Abadi. Untuk menguasai ilmu itu, penganutnya harus merenggut keperawanan gadis belia berusia 14 tahun serta mengoleksi sejumlah jimat berupa keris dan bambu atau pring.

Namun ilmu ini gagal didapat Steven karena dia berhenti di angka 16. Anggota Subnit Vice Control (VC) Unit Jatanum Sat Reskrim Polrestabes Surabaya membongkar aksi Steven. Dari 16 korban, baru tujuh orangtua korban yang lapor ke polisi.

Untuk mencari mangsa, Steven yang sehari-hari menjadi pengusaha real estate menyamar sebagai anggota TNI aktif berpangkat Letnan Kolonel (Letkol). Dari umurnya, Steven memang pas menyandang status Letkol. Namun pangkat dan seragam tentara itu didapatnya dari sebuah toko di Pasar Turi.

“Kami sudah cek ke TNI, ternyata dia ini tentara palsu,” ujar Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Coki Manurung didampingi Kasat Reskrim AKBP Anom Wibowo, Senin (31/1).

Steven juga membekali diri dengan airsoft gun dan senjata api jenis Glock. Senpi ini dibelinya dari seorang teman seharga Rp 37 juta. Bapak tiga anak ini mengenal dunia klenik sejak 2008. Dia mengaku mempunyai beberapa guru spiritual sejenis dukun di Surabaya dan Mojokerto. Dari salah satu dukun itulah, Steven mengaku mendapatkan ajaran nyeleneh tentang obat awet muda. Dia disyaratkan meniduri puluhan anak baru gede (ABG) untuk menyempurnakan ajarannya.

Setiap kali melakukan ritual, lanjutnya, dia selalu membeber belasan jimat seperti keris, belati, pring kuning dan keris berbentuk mirip jenglot.

Bahkan, gara-gara ritual magis yang dilakukannya di rumah, Mei 2010 lalu, ia harus kehilangan dua orang yang dicintainya, Hanum, istri, dan Jonathan, anaknya. Saat itu, Steven masih tinggal di Jl Ploso Timur VA. Istri dan anaknya tewas setelah ritual yang diduga melibatkan api itu mengakibatkan tabung elpiji di rumahnya meledak.

“Waktu itu semua mengira itu ledakan karena kecelakaan. Tapi sebenarnya ledakan itu dipicu ritual yang saya lakukan,” aku Steven dengan nada lirih. Ia mengaku tidak luka sedikitpun saat rumahnya meledak. Dia diyakinkan oleh sang guru bahwa kematian anak dan istrinya adalah tumbal agar niatnya mendalami ilmu tercapai.

Kepada Surya, Steven mengakui pernah berhubungan intim dengan tujuh anak di bawah umur dalam satu hari. Bahkan, ia sering kencan dengan dua gadis sekaligus. Anehnya, menurut polisi, para gadis belia itu seperti terhipnotis dengan ilmu guna-guna sehingga menuruti semua keinginan Steven. Steven biasa mengajak para korban untuk melayani nafsu tak terkendalinya di sebuah hotel di Jl Kali Kepiting dan Jl Basuki Rahmad, Surabaya.

“Saya memberinya (korban) uang Rp 500.000 setelah melayani saya. Saya juga sering memberi mereka ponsel dan uang untuk kebutuhan lain,” ujar Steven.

Sebelum berkencan, Steven biasanya meminta korban agar bersedia foto telanjang dan mesra.

Foto-foto tersebut menjadi salah satu senjata Steven untuk terus meniduri para korban. Jika menolak, Steven mengancam akan menyebarkan foto-foto tersebut. Lima di antara tujuh korban Steven yang sudah melapor adalah LI yang dikencani hingga 13 kali. Kini dia hamil 5 bulan akibat ulah Steven.

Selain itu ada LT, RT, HN, dan FL. Semua korban masih duduk di bangku SMP kelas III dan berusia 14 tahun. Mereka merupakan teman satu sekolah. Steven biasanya dikenalkan oleh korban yang sudah lebih dulu dikencani. Sepak terjang Steven terhenti saat Sat Reskrim Polrestabes Surabaya memerintahkan Kasubnit Ipda Iwan Hari Purwanto untuk menindaklanjuti laporan salah satu korban. Steven kedapatan mengajak korban berkencan, Jumat (28/1) siang. Korban saat itu baru saja pulang sekolah.

“Dia mengajak janjian korban di Jl Kertajaya. Dari petunjuk korban, kami mengetahui saat itu tersangka mengendarai mobil Toyota Inova hitam,” ujar Iwan. Tersangka pun ditangkap. Dia pun mengakui semua perbuatannya setelah dihadapkan dengan beberapa korban.

Barang bukti yang berhasil diamankan polisi dari tangan tersangka adalah 11 ponsel termasuk 2 Blackberry, tujuh keris, satu senjata api, satu pistol airsoft gun, atribut dan pelat nomor mobil TNI, serta foto-foto korban yang berhasil diabadikan tersangka. Steven dijerat Pasal 81 dan Pasal 82 UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana kurungan 15 tahun.

Setelah secara intensif memeriksa Steven, polisi menduga kuat bahwa tersangka juga mempraktikkan ilmu guna-guna untuk menjerat korban, selain mengiming-iminginya dengan harta.

“Steven bisa membuat korban seperti gampang saja diajak kencan,” ujar Kasubnit VC, Ipda Iwan Hari Purwanto.

Saat kasusnya digelar di Mapolrestabes Surabaya, Steven mengakui terus terang bahwa dia menggunakan ilmu guna-guna yang mengandalkan daya magis keris dan sejumlah jimat yang dimiliki.

Begitu percaya dirinya dengan ilmu yang dimiliki, Steven bahkan pernah mendatangi rumah beberapa korbannya. Tanpa takut, Steven bertemu langsung dengan orangtua mereka. “Kepada salah satu orangtua korban, tersangka berterus terang berhubungan intim dengan anaknya,” imbuh Iwan.

Ipda Iwan memperoleh keterangan dari sejumlah orangtua korban bahwa mereka seperti terkena hipnotis saat Steven bertandang ke rumahnya. Mereka tak kuasa untuk marah apalagi melaporkan perbuatan tersangka ke polisi.

Steven memang mengakui mempelajari ilmu Batara Karang Abadi. Selain itu, dia juga mendalami ilmu hitam lainnya seperti kekebalan, pengasihan dan pelancar usaha. Steven pun menjaga ilmu itu dengan belasan jimat yang dia dapatkan dari mimpi.

“Saya dikasih sama guru. Ada juga yang saya dapatkan dari mimpi kemudian saya tarik ke alam nyata,” ungkap Steven. Setiap hari-hari tertentu, Steven selalu memandikan jimatnya itu dengan minyak wangi jenis misik.

Keberanian Steven memperdaya korban dan orangtuanya juga ditopang dengan status palsunya sebagai perwira TNI berpangkat Letkol. Senjata api yang dimiliki juga menjadi pelengkap aksi.

Sejumlah Warga Pacitan Melakukan Ritual Tarian Bugil Telanjang Untuk Kesembuhan Bupati

Seorang penelpon yang belum diketahui identitasnya, Jumat, diduga telah menggendam sejumlah warga Kota Pacitan, Jawa Timur, untuk melakukan ritual tari telanjang.

Menurut Kepala Desa Tanjungsari, Kecamatan Pacitan, Bambang Sutejo, Jumat (22/10/2010), aksi aneh tersebut dilakukan atas perintah seorang penelepon yang mengaku suruhan Sekda Pacitan, Mulyono.

“Orang pertama yang memberitahu saya adalah Hernowo, penilik sekolah di Kecamatan Kebonagung,” katanya, Jumat.

Melalui pejabat penilik sekolah (PS) inilah, Bambang Sutejo mengaku pertama kali mendapat informasi adanya instruksi sekda, yang memerintahkan sejumlah warga, baik pria maupun wanita, untuk menggelar ritual telanjang.

“Intinya, warga diminta melakukan ritual telanjang dan berdoa untuk kesembuhan Bupati Sujono yang dikabarkan sakit,” katanya.

Setelah mengumpulkan sejumlah warga dan perangkat ritual, pada Kamis malam sekitar pukul 21.00 WIB, para peserta ritual kemudian dihias dengan warna serba hitam.

Proses ritual berlangsung hingga Jumat dini hari, sekitar pukul 04.00 WIB. Tidak hanya dilakukan di Desa Tanjungsari saja, penipuan berkedok ruwatan penyakit Bupati Pacitan tersebut juga dialami sejumlah warga dan perangkat Desa Mentoro, Kecamatan Pacitan.

Mereka bahkan sempat menggelar upacara di tengah hutan dalam kondisi telanjang bulat diiringi suara gamelan. “Kami bersedia melakukan ritual karena dijanjikan akan diangkat menjadi PNS,” kata salah seorang korban yang tidak mau disebut namanya.

Warga yang menjadi korban penipuan tarian telanjang ini baru sadar, setelah pria misterius yang sebelumnya aktif menelepon tidak lagi menghubungi mereka.

Saat kasus ini dikonfirmasi, Kabag Humas Pemkab Pacitan, Endang Surjasri membantah bahwa perintah ritual tari telanjang itu berasal dari Sekda. Dia juga menampik kabar mengenai sakitnya Bupati Sujono karena guna-guna.

Menurutnya, kalau pun pemkab punya hajatan, pasti akan ada pemberitahuan secara resmi. “Kami mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah percaya dengan telepon ataupun SMS, yang mengatasnamakan pejabat pemkab,” imbaunya.

Pria Keren Tertangkap Karena Membius 30 Wanita Yang Ingin Check In Dengannya

Heppy Kinan (59), pelaku pembiusan di Jakarta Pusat, dibekuk aparat Kepolisian Sektor Metro Kemayoran, Selasa (21/9) dini hari. Aksi yang dilakukan di Jakarta Pusat itu rupanya bukan yang pertama. Sejak Januari 2010, pelaku melakukan modus serupa kepada 30 korban.

Heppy mempunyai beragam nama samaran dalam aksinya. Dalam dua kali pembiusan di Jakarta Pusat, pelaku memakai nama samaran Pia Ramadhan. Ada juga sejumlah nama samaran lain seperti Herry Sabir, Lukman, Hendra, atau Yopy.

Dia juga mempunyai sejumlah kartu tanda penduduk (KTP) palsu dengan beragam nama serta alamat. Selembar KTP palsu dibeli pelaku seharga Rp 150.000.

Pembiusan itu dilakukan tidak hanya di Jakarta, tetapi di sejumlah tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Awalnya pelaku beraksi dengan kawannya, Jimmy. Dua hari sebelum Lebaran, Jimmy dibekuk oleh jajaran Kepolisian Resor Cirebon.

Setelah itu, Heppy beraksi sendiri termasuk ketika membius dua perempuan di dua hotel yang berbeda di Kecamatan Kemayoran, pekan lalu. Salah seorangnya adalah DJ Wanita yang ditinggal dalam keadaan bugil atau telanjang bulat sendirian dihotel bahkan mobilnyapun lenyap (baca ceritanya disini: Wanita Disc Jockey Dihipnotis Dan Dirampok Kenalan Baru Sampai Telanjang Di Lobby Hotel)

Dalam aksinya, pelaku berkenalan dengan calon korban dari berbagai cara, antara lain dikenalkan teman-temannya. Di Jakarta Pusat, umumnya pelaku bertemu dengan calon korban di sekitar Simpang Lima Senen.

Perawakan pelaku yang tinggi dan putih, pakaian yang rapi dan trendi, serta gaya bicara yang meyakinkan membuat calon korban mudah terbujuk. Calon korban lantas diajak berjalan- jalan sebelum keduanya check-in di hotel. Heppy biasanya meninggalkan KTP palsu saat mendaftar masuk di resepsionis hotel dan tidak mengambil KTP itu lagi.

Di kamar, pelaku menyiapkan minuman jamu atau jus yang sudah diberi campuran obat penenang dan pil tidur. Setelah minum, korban langsung tidak sadarkan diri. Saat itu dipakai pelaku untuk memereteli perhiasan dan uang milik korban.

”Saya spekulasi saja dengan korban. Kadang-kadang juga saya dapat perhiasan imitasi,” ucap Heppy di Markas Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat.

Perhiasan korban langsung dijual Heppy. Uang itu yang dipakai untuk hidup dan melaksanakan kejahatan selanjutnya.

Obat penenang yang dipakai dalam kejahatan itu diperoleh Heppy dari apotek. Dia sebelumnya meminta resep dokter dengan dalih membutuhkan obat itu untuk diri sendiri. ”Satu plastik kecil obat, saya beli seharga Rp 150.000,” kata Heppy.

Korban yang mengonsumsi minuman bercampur obat penenang racikan Heppy itu biasanya pingsan dan tidak sadar diri selama beberapa jam atau bahkan hari. Heppy mengatakan, bila kondisi fisik orang yang minum jamu ini kuat, dia akan pingsan sekitar 12 jam. Kalau tidak, maka waktu pingsan akan lebih lama.

Korban biasanya ditemukan masih dalam kondisi pingsan di kamar hotel. Mereka langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Dalam beberapa hari, korban biasanya belum mengingat secara penuh rentetan kejadian sebelum pingsan.

Heppy dibekuk polisi yang dipimpin Kanit Reskrim Kemayoran Ipda Endi Suhendi, di sebuah rumah kos di Jalan Kramat Pulo Dalam II, Kecamatan Senen. Heppy baru menyewa kamar kos itu sekitar sebulan terakhir. Sebelumnya, Heppy mengaku berpindah-pindah hotel.

Modus lama

Tindak kejahatan Heppy itu merupakan modus lama. Heppy memang terbiasa membius calon korbannya sebelum mengambil barang-barang berharga. ”Agustus 2009, pelaku baru keluar dari penjara karena kasus penipuan dengan modus membius sopir mobil rental. Setelah itu, pelaku menurunkan korban dan membawa kabur mobil rental,” ucap Kepala Polsek Metro Kemayoran Komisaris JR Sitinjak.

Pelaku divonis bersalah atas aksinya itu pada tahun 2007. Tercatat, 43 mobil rental yang dibawa kabur pelaku. Sebelumnya, Heppy pernah divonis bersalah pada tahun 1983 setelah melakukan kejahatan di wilayah Polres Jakarta Pusat dalam kasus penggelapan uang.

Tahun 1993, Heppy dinyatakan bersalah lagi dan dipenjara lima tahun karena membius orang yang menyebabkan korban meninggal. Tahun 2000, lagi-lagi korban masuk penjara karena membius sopir mobil rental dan membawa kabur mobil korban.

Dalam catatan polisi, Heppy mempunyai latar belakang ilmu farmasi. Ilmu itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan kejahatan.

Berpenampilan perlente, kakek satu ini membius pasangan kencannya di kamar hotel. Bolak-balik beraksi di berbagai kota, petualangan si ‘Good Father’ terhenti setelah diringkus polisi di sebuah rumah kos di Senen, Jakpus, Senin (20/9) malam.

Pria 59 tahun yang dijuluki Good Father dan punya banyak nama itu tak berkutik dan hanya bisa menghela nafas panjang saat Kanit Reskrim Polsek Kemayoran Ipda Endi Suhendi bersama Ipda Yossy Jannuar meringkusnya di tempat kos-nya di Jl. Kramat Pulo Dalam II.

Heppy Kinan alias Pia Ramadhan alias Herry Tabir alias Yopi, hanya bisa memandang tas berisi pakaian yang sudah siap disandangnya untuk kabur dari tempat itu. Empat KTP dengan foto sama namun nama berbeda,  disita polisi dari dompetnya.

Kakek tiga cucu dari empat anaknya itu belakangan  membuat sibuk polisi. Pasalnya, dua wanita ditemukan teler terbius di dua hotel berbeda di Kemayoran. Sha, 30, dibius di Hotel Cempaka Sari pada 17 September lalu uang dan HP-nya dibawa kabur.

Hal sama dilakukannya pada Sug, 33, yang juga dikuras hartanya dan dipreteli perhiasannya di Hotel Ilham II pada hari berikutnya.

Di sekitar tempat kos itu, kakek necis ini dikenal dengan panggilan Good Father karena ramah dengan sikap kebapakaan pada orang-orang yang usianya jauh lebih muda. Cara itu pula yang digunakan  sebagai senjata untuk menjerat wanita korbannya.

Tak tanggung-tanggung, 30 wanita di berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jakarta  telah diperdayanya. Di antaranya di Cikampek, Karawang, Bandung, Solo, Yogyakarta dan Jakarta. Semula, ia berpetualang bersama satu bandit lainnya. “Tapi teman saya itu
tertangkap di Cirebon, Agustus tahun lalu. Jadi ya saya sendiri saja,”
katanya.

KTP BANYAK

Mengenai beragam KTP yang diberikan saat check in, pria asal Sumatera Barat ini mengaku memang memiliki sejumlah KTP asli tapi palsu.  Ron, teman  yang tinggal di Tanah Abang, kerap dimintai membuat KTP dengan membayar Rp150.000. Tujuannya, agar tidak terlacak
polisi.

Dalam menggaet mangsa, kakek necis ini mengaku mencarinya tak jauh dari hotel. Setelah berkenalan, ia mengajak kencan dengan tarif tinggi. Selanjutnya, dalam kamar pria berpostur atletis ini mengajak makan malam.

“Setelah itu, saya beri dia minuman atau jamu yang telah diberi obat tidur dosis tinggi. Kalau sudah pingsan hartanya saya ambil, perhiasan saya preteli,” katanya. “Tapi uang yang didapat cepat habis untuk foya-foya.”

Kapolsek Kemayoran Kompol Robert Sitinjak mengatakan berdasarkan pemeriksaan diketahui pada 1993 tersangka pernah menghipnotis hingga korban tewas. “Kejadiannya di Johar Baru dan ia telah divonis lima tahun penjara,” ungkapnya.

Wanita Disc Jockey Dihipnotis Dan Dirampok Kenalan Baru Sampai Telanjang Di Lobby Hotel

Wanita Disc Jockey (DJ) diperdaya pria setengah baya yang menawarinya pekerjaan. Setelah makan di hotel, ia tertidur hingga tak sadarkan diri ditelanjangi, lalu hartanya termasuk mobil dibawa kabur.

Rasiti Saputri, 31, korban, ditemani Suryajaya, 38, suami, datang ke Redaksi Pos Kota Jl. Gajah Mada 100, Jakbar, Senin (6/9) siang. Membawa surat laporan No Pol: 479/K/VI/2010/POLSEK.TMS tanggal 4 Juni 2010.

Menurutnya, seorang pria yang mengaku bernama Wil menelepon menanyakan niatnya mencari pekerjaan. Meski curiga lantaran tak merasa pernah memberi nomor HP pada orang lain, wanita itu tetap datang ke tempat yang dijanjikan pada 3 Juni Pk. 22:00. Di lobby satu hotel di Jl. Hayam Wuruk, pria yang mengaku bernama Wil menemuinya.

Setelah berjabat tangan, Rasiti mengaku bagai dicokok hidung mengikuti pria itu ke kamar 310. Sambil mengobrol, mereka makan dan minum.  “Tau–tau ketika saya terbangun saya sudah dalam keadaan telanjang ditempat tidur,” katanya. Perhiasan yang dikenakan, tas isi uang Rp500.000, ATM dan surat identitas raib. “Bahkan semua baju saya sampai pakaian dalampun juga tak ada.”

Panik karena merasa dilecehkan dan telah diperkosa, Rasiti nyaris bunuh diri dengan memotong pergelangan tangan pakai pecahan gelas. Namun, niat bunuh diri urung dilakukan. Belakangan, disadarinya juga mobil Honda City merah nopol B 1201 FAA yang dibawanya sudah dibawa kabur Wil.

Setelah melapor ke Polsek Taman Sari, pasangan Rasiti dan Surya terus memburu Wil. Termasuk meminta gambar dari kamera pengintai (closed circuit television/cctv) hotel yang merekam pertemuan di lobby. Selain itu, terekam pula beberapa jam sebelumnya penjahat itu datang bersama seorang pria yang dikenalnya.

“Saya kecewa polisi belum juga menangkap pelakunya, padahal ada gambarnya dalam kamera cctv,” kata wanita yang berencana melapor ke Polda Metro Jaya ini.

Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Boy Rafli Amar, mengatakan polisi memerlukan waktu untuk penyelidikan. “Apapun informasi yang dimiliki korban segera diberitahu ke penyidik agar memudahkan penyelidikan. Jangan sungkan-sungkan,” ujarnya

PELAKU TELAH TERTANGKAP: LIHAT BERITANYA DISINI

Hati Hati Menjelang Lebaran Banyak Tukang Hipnotis Gentayangan … Mahasiswi Jadi Korban Untung Tak Jadi Diperkosa

Korban kejahatan hipnotis menjelang arus mudik lebaran mulai berjatuhan. Musibah ini menimpa Uci Asnawati, 20, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Kota Serang.

Korban diperdaya seorang pria yang mengaku bisa menghilangkan penyakitnya. Kalung emas seberat 10 gram, handphone serta barang berharga lainnya senilai Rp 11 juta raib dibawa kabur pelaku.

Informasi yang diperoleh di Mapolres Serang, musibah yang menimpa mahasiswi warga Kampung Kapandaian Kidul, Kelurahan/Kecamatan Serang, Kota Serang ini terjadi Rabu (1/9) sore sekitar pukul 15:00 WIB.

Saat itu korban berada di Mall Ramayana Kota berniat belanja keperluan lebaran. Seorang pria dengan pakaian perlente tiba-tiba menghampiri korban dan mengajak berkenalan.

Tanpa sadar korban menyodorkan tangannya kepada pelaku. Dan ketika bersalaman seketika korban menjadi lupa kesadaran yang diduga akibat pengaruh hipnotis. “Yang saya ingat waktu itu, pelaku mengatakan bahwa saya mengidap penyakit,” ungkap Uci kepada petugas polisi yang memeriksanya di Mapolres Serang.

Masih dalam kondisi terkena hipnotis, korban lalu diajak pelaku ke gedung Islamic Center yang jaraknya sekitar 300 meter dari Mall Ramayana untuk diobati.

Setelah beberapa saat berada di Islamic Center, korban kemudian dibawa kearah Terminal Pakupatan dengan menggunakan kendaraan pelaku. Dalam perjalanan, korban diminta untuk menyerahkan seluruh perhiasan, handphone, dompet berisi uang, surat kendaraan dan kartu mahasiswa.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, korban menuruti kemauan pria yang baru dikenalnya itu. Setelah uang dan perhiasan diserahkan kepada pelaku, korban diperintahkan pelaku untuk kembali ke gedung Islamic Center.

Korban kemudian diberi ongkos untuk naik angkot sebesar Rp 10 ribu. Setelah berada dalam angkot, korban baru sadar telah menjadi korban hipnotis. Namun sayang, pelaku sudah keburu kabur.

Kasat Reskrim Polres Serang, AKP Doni Hadi Santoso ketika dkonfirmasi membenarkan telah menerima laporan penipuan tersebut. Kata AKP Doni kasus penipuan yang menimpa mahasiswi tersebut masih dalam penyelidikan.

“Kasusnya masih dalam penyelidikan,” ungkap AKP Doni singkat serya menghimbau kepada warga agar berhati-hati menkjelang lebaran ini karena berbagai kasus kejahatan dipastikan akan muncul.

Media Massa Indonesia Tidak Memiliki Etika Yang Penting Laku dan Banyak Kunjungan

Kegelisahan masyarakat terkait praktik media massa akhirnya muncul juga.

Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi.

Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif). Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi.

Dua wilayah etika media

Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita.

Pada wilayah itu, pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.

Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber: seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh.

Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi. Namun, sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi.

Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008).

Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.

Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya.

Berita dan kompetisi wacana

Konsekuensi dari etika jenis kedua adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik. Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna.

Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan.

Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.

Di manakah posisi media massa? Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.

Ketika fasilitas makro sudah diberikan dan ternyata masih timbul masalah, pendulum harus diarahkan pada wilayah internal media massa sendiri. Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial.

Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.

R Kristiawan Senior Program Officer for Media, Yayasan TIFA, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Televisi Indonesia Sebuah Industri Kejahatan

Berbagai berita kejahatan yang disajikan media, terutama televisi, dinilai mampu menginspirasi khalayak melakukan aksi-aksi kriminalitas.

Hal ini terbukti dari mutilasi yang dilakukan Sri Rumiyati (48). Perempuan yang akrab disapa Yati itu mengaku menirukan cara Very Idam Henyansyah (Ryan) dalam membunuh salah satu korbannya. Yati memotong mayat suaminya, Hendra, guna menghilangkan jejak.

Dalam catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 terjadi 13 peristiwa pembunuhan mutilasi di Indonesia. Angka tertinggi untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Pada tahun 2007 terjadi tujuh peristiwa mutilasi (Kompas, 10/11/2008). Apakah tingginya kasus mutilasi merupakan akibat televisi gencar menayangkan kasus-kasus yang ditiru anggota masyarakat lainnya? Lebih mengerikan lagi, kejahatan telah menjadi industri tontonan yang dihadirkan televisi?

Tidak mudah menyimpulkan, berita kejahatan yang disajikan televisi berpengaruh langsung bagi khalayak. Ada tiga perspektif yang dapat dikemukakan. Pertama, media dipandang memiliki kekuatan penuh mendikte perilaku khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap pasif sehingga merespons begitu saja stimulus yang digelontorkan media. Situasi masyarakat yang penuh alienasi, isolasi, depresi, dan tingkat pengangguran tinggi merupakan lahan subur bagi media dalam menancapkan pesan-pesan kejahatan.

Kedua, media dipandang amat lemah untuk memengaruhi khalayak. Dalam kondisi ini, khalayak bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan media. Daya intelektualitas, level ekonomi, atau usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat dikesampingkan.

Ketiga, media memiliki dampak terbatas bagi khalayak. Hal ini dapat terjadi karena media dipandang sebagai salah satu faktor, selain faktor-faktor lain, seperti kematangan psikologis, konteks sosial yang melingkupi individu-individu, dan daya selektivitas khalayak terhadap muatan media sehingga media bisa berpengaruh pada tingkat gagasan, sikap, atau perilaku.

Fenomena yang tidak boleh dianggap sepele adalah televisi terlalu permisif untuk menampilkan kasus-kasus kriminalitas. Adegan rekonstruksi yang secara rutin ditampilkan televisi telah menjadi tontonan keseharian. Industrialisasi kejahatan menjadi kian marak digulirkan televisi. Kejahatan dikemas secara masif dan berulang-ulang dalam ruang keluarga. Alasan utama yang menjadi dalih klise ialah tontonan kejahatan amat diminati khalayak. Hasrat penonton menjadi justifikasi yang tidak boleh disanggah. Rating, sharing, atau perhitungan komersial mengakibatkan kriminalitas mudah dikonsumsi.

Mistifikasi pasar

Ketika para pengelola televisi berdalih tingginya berita-berita kejahatan yang ditampilkan karena permintaan konsumen, maka terjadilah mistifikasi pasar. Artinya, pasar dianggap sebagai kekuatan penentu yang tidak dapat dibantah. Padahal, dalam pasar itu ada mekanisme penawaran dan permintaan. Selera pasar bisa diciptakan dan diarahkan. Pasar tontonan seolah berlangsung secara alami, padahal yang sebenarnya berlangsung di pasar kemungkinan dapat direkayasa.

Pasar mendorong jurnalisme berita kejahatan sekadar mengabdi kepentingan modal dan pelipatgandaan keuntungan. Kenyataan ini berlangsung konsisten karena, seperti dikatakan John H McManus (Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware?, 1994), pasar memiliki enam karakteristik, yaitu (1) kualitas dan nilai ditentukan konsumen ketimbang produsen atau pemerintah; (2) responsif terhadap konsumen; (3) koreksi diri karena pasar bersifat fleksibel; (4) motivasi konstan dari pelaku pasar untuk berkompetisi; (5) mengandalkan efisiensi; dan (6) konsumen bebas untuk menentukan pilihan.

Namun, nilai yang sering diabaikan pasar ialah moralitas. Pasar televisi tak pernah menggubris apakah tayangan berita kriminalitas berdampak buruk bagi khalayak. Doktrin utama pasar adalah semua tontonan dijual bagi konsumen. Apakah konsumen menjadi berperilaku jahat karena meniru adegan sadisme yang ditayangkan, para produsen tontonan tidak peduli. Bahkan, produsen cenderung menyalahkan khalayak yang dianggap tidak bisa bersikap kritis terhadap berita-berita kriminalitas. Itulah yang dalam bisnis dinamakan externalities, yakni kehancuran dan imoralitas sosial yang terjadi dianggap di luar tanggung jawab media. Televisi tidak pernah keliru karena konsumen sendiri yang dinilai tahu risikonya.

Dilanda anomi

Industrialisasi kejahatan yang dijalankan televisi secara potensial dan nyata mampu menciptakan inspirasi bagi aksi- aksi kejahatan berikutnya. Hal ini mudah dipicu saat masyarakat dilanda anomi, yakni situasi tanpa norma. Pada situasi anomi, tatanan komunitas dan sosial merosot, digantikan rasa keterasingan dan kekacauan. Dalam situasi anomi, terjadi penekanan berlebihan pada tujuan-tujuan hidup, tetapi cara-cara meraih tujuan itu tidak mampu disediakan secara mencukupi yang dikarenakan nilai-nilai kebaikan yang semuanya relatif seperti koruptor dihormati dan disegani. Salah satu kekuatan kunci yang terlibat dalam penanaman tujuan-tujuan hidup adalah media. Media pula yang mengajarkan bagaimana menjalankan kejahatan untuk meraih tujuan hidup itu (Yvonne Jewkes, Media and Crime, 2005).

Televisi berulang memberi contoh bagaimana cara menerabas hukum dapat digunakan untuk meraih tujuan hidup yang dianggap sukses. Meski itu dianggap tindak kejahatan, yang berarti pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma, tetap saja diimitasi individu-individu tertentu. Sebab, mereka berpikir tiada cara lain yang lebih baik ketimbang beraksi sebagai kriminal. Di situlah televisi menanamkan perilaku kejahatan dan masyarakat melakukan pembelajaran. Mereka yang melakukan peniruan itu biasanya dari kelompok marjinal yang tidak punya akses untuk meraih tujuan hidup yang baik yang juga dikarenakan koruptor-koruptor yg duduk dipemerintahan.

Lazimnya, industri kejahatan yang diandalkan televisi adalah kasus-kasus kriminalitas jalanan yang melibatkan kaum pinggiran. Bukankah kejahatan jalanan mudah memancing sensasi karena melibatkan kekerasan fisik yang berdarah-darah? Klop dengan dogma industri kejahatan di televisi yang berbunyi: If it bleeds, it leads. Semakin berdarah-darah semakin meriah karena masyarakat yang dilanda anomi seperti Indonesia sangat haus darah seperti zaman romawi kuno.

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

THR Tunjangan Hari Raya Dibagikan Para Penghipnotis Langsung Beraksi

Warga diimbau untuk semakin waspada. Pasalnya, di hari-hari mendekati Lebaran, saat sebagian warga mulai menerima tunjangan hari raya (THR), komplotan bandit makin gencar beraksi.

Hipnotis dan pembiusan adalah dua modus kejahatan yang sering terjadi dan dilancarkan pelaku untuk melumpuhkan korbannya lalu menggasak hartanya.

Kasus teranyar menimpa seorang wanita guru SD di Bogor. Uang gaji dan THR sejumlah Rp7 juta yang rencananya mau digunakan untuk belanja Lebaran, melayang disambar penjahat yang menghipnotisnya.

Pelaku adalah seorang pria perlente. Penjahat ini cukup nekat dalam beraksi karena berani menyambangi korbannya yang tengah mengajar di dalam kelas.

Peristiwa yang dialami Wina ,42, guru kelas IV SD YZA pada Jumat (19/9) pagi ini membuatnya menderita kerugian Rp 7 juta. Informasi yang diperoleh, saat sedang mengajar, korban didatangi pria perlente yang menanyakan keberadaan kepala sekolah. Kepada ibu dua anak ini, pelaku mengatakan kedatangannya karena anaknya tidak pulang sekolah sejak Kamis (18/9).

Lantaran iba, istri Erwin Fauzian, Kasubag antar lembaga pada Humas Pemkab Bogor, ini lalu mengantar pelaku menuju ruang pimpinannya. Namun saat berjalan keluar pintu ruangan kelas, pundak warga Perumahan Taman Pagelaran RT 06/12 Blok C-9 Ciomas, Bogor, ini ditepuk pelaku.

Satu tepukan disertai tatapan mata pelaku, membuat korban langsung hilang ingatan. “Saat itu saya menuruti semua perintah pelaku. Waktu dia bilang pinjam uang, saya langsung ambil tas dan menyerahkan uang Rp 7juta yang sedianya untuk beli baju lebaran dan keperluan lainnya ke mal usai mengajar,” kata Wina ditemani suaminya tertunduk lemas.

Sementara Erwin, sang suami menuturkan, uang sejumlah Rp 7 juta yang hendak dipakai belanja, merupakan kumpulan gaji ia dan istrinya serta tunjangan hari raya. Erwin berharap, pelaku bisa ditangkap oleh aparat kepolisian.

TKI PULANG KAMPUNG DIINCAR
Para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan hendak pulang kampung untuk merayakan Lebaran juga menjadi incaran penjahat.

Dua TKI yang baru datang dari Malaysia ini adalah contohnya. Membawa uang Rp4,8 juta, 2 HP, dan 10 gram emas hasil kerja bertahun-tahun sebagai pandai besi di negeri jiran, Sutanto, 24, dan Kohir, 26, Kamis (18/9) sore, tiba di Bandara Soekarno Hatta.

Rencananya uang dan sedikit oleh-oleh itu mau digunakan untuk merayakan Lebaran bersama orangtuanya di kampung halaman di Pati, Jateng.

Namun niat mulia itu tak kesampaian karena mereka menjadi korban pembiusan 5 penjahat. Uang, perhiasan dan oleh-oleh digasak pelaku. Kedua korban ditemukan dalam kondisi pingsan di Jl. Perwira, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Kamis malam.

Menurut keterangan korban dalam keadaan setengah sadar di Polsek Sawah Besar, setelah turun dari pesawat mereka disambut lima lelaki berpakaian rapi yang mengaku saudara.

Karena tak curiga, korban bersama ke 5 penjahat naik bus menuju Stasiun KA Gambir. Di dalam bus, korban sempat disuguhi minuman kemasan beras kencur. Dua menit kemudian ke dua korban pingsan. Setelah itu korban dibawa naik mobil pelaku yang membuntuti dari belakang.

Di dalam mobil, pelaku lalu mempreteli semua barang berharga yang dibawa korban dari negeri jiran. Setelah dibawa mutar-mutar, kedua TKI dibuang di Jl. Perwira, belakang Mesjid Istiqlal.

PURA-PURA TAWARKAN PARFUM
Modus pembiusan untuk melumpuhkan korban akhir-akhir semakin beragam saja. Masyarakat kini juga diresahkan dengan praktik kejahatan dengan berpura-pura menawarkan parfum. Korban yang diincar adalah pengendara mobil atau motor di lokasi parkiran. Mailing list atau milis-milis di internet sudah ramai membicarakan modus kejahatan yang satu ini. Seorang peserta milis mengaku temannya belum lama ini mengalaminya.

Ketika itu korban baru keluar dari sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Blok M. Begitu tiba di mobilnya, ia didekati 2 sales (1 pria dan 1 wanita) yang menawarkan parfum.

Wewangian itu disemprotkan ke selembar tisu dan kemudian ditawarkan kepada korban. Tanpa curiga, korban menciumnya dan tak lama kemudian dia merasa pusing dan mengantuk. Ketika sadar mobilnya sudah raib dan dia menemukan dirinya terduduk di trotoar.

Modus lain yang patut diwaspadai adalah pelaku berpura-pura terjatuh dan terluka. Ketika pengendara motor hendak menolong korban yang minta air minum, anggota komplotan lain mendekati lalu menepuk bahunya. Dalam sekejap motor korban lenyap dibawa kabur pelaku.

SEBAR PETUGAS BERPAKAIAN PREMAN
Mengantisipasi maraknya aksi kejahatan menggunakan obat bius dan hipnotis sebagai senjatanya, Polda Metro Jaya menegaskan telah menyebar petugas berpakaian preman di sejumlah wilayah yang dianggap rawan. Ini dilakukan polisi untuk memberi rasa aman dan kenyamanan bagi masyarakat.

Kasat V Ranmor Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Nico Afinta, Jumat (19/9), mengakui pihaknya telah menangani berbagai kasus pencurian kendaraan bermotor dengan modus pembiusan. “Saat ini sebagian kasus berhasil kami ungkap dan pelakunya ditangkap,”ujarnya.

Nico mengungkapkan biasanya modus pembiusan dilakukan dengan cara berpura-pura menyewa atau menumpang kendaraan yang menjadi target kejahatan.

Saat berada di dalam kendaraan, pelaku berlaku sopan kepada calon korbannya. Bahkan pelaku tak segan-segan mentraktir korban makanan. “Setelah korban terbuai, pelaku langsung beraksi dan memberi minuman yang sudah dicampur dengan obat bius,”kata Nico yang mengaku dari berbagai kasus ranmor yang ditanganinya belum ada laporan mengenai pembiusan menggunakan parfum.

Menyangkut penjahat yang diduga menggunakan hipnotis obat bius, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Zulkarnaen, mengimbau kepada masyarakat supaya jangan mudah percaya terhadap orang yang baru dikenal. “Jangan hanya karena baik awalnya, kita langsung terlena,”ujarnya.

Pelaku biasanya menggunakan alat atau benda untuk mengelabui calon korbannya. “Saya minta apabila ada orang yang kita jumpai di jalan dan memberikan sesuatu langsung diambil. Soalnya biasanya pelaku menggunakan benda atau alat untuk menjerat para korbannya,” tambahnya.