Daily Archives: Maret 23, 2008

Kisah Seru Seorang Satpam Membongkar Sindikat Narkoba Seorang Diri

JAKARTA – Waktu di layar ponsel Setyanto Aji menunjukkan pukul 01.45, Rabu (19/3), ketika kedua matanya melihat seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 165 sentimeter berjalan di tepi Sungai Cengkareng Drain di belakang Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk. Laki-laki itu lalu menuruni tepian sungai. Setyanto Aji, wakil komandan satuan pengamanan sektor timur Pantai Indah Kapuk, ketika itu berpatroli dengan motor. Mencium gelagat tak baik, Setyanto menunggu dari kejauhan, namun si lelaki tak kunjung naik dari tepi sungai.

Pukul 01.55, sebuah speedboat yang bersuara sangat halus melintas di Cengkareng Drain dari arah laut lalu menepi tepat di tempat lelaki tadi turun. Selang 10 menit, sebuah mobil boks bernomor polisi B 9824 PJ datang dan menepi di lokasi yang sama.

”Saya pikir mereka mau buang mayat, saya curiga,” ujar Setyanto.

Dari kejauhan, Setyanto lalu menyaksikan sejumlah orang melempar kardus-kardus dari kapal. Kardus-kardus itu lalu dimasukkan ke mobil boks. Setyanto lalu mengajak dua anak buahnya untuk mendekati mobil boks itu.

Ketika mendekat, dari jarak 1,5 meter, Setyanto melihat ada sekitar delapan orang di speedboat itu yang lalu bergegas berusaha menutupi sisa kardus di kapal dengan terpal. Sementara tiga orang lainnya di dekat mobil boks.

”Saya lalu sempat bertanya, ’Ada apa ini’. Tetapi tidak ada yang menyahut. Mereka bergegas menutupi sisa kardus di kapal, masih sekitar puluhan kardus. Lalu kapal kabur. Mobil boksnya juga,” kata Setyanto.

Ia pun lalu membuntuti mobil boks tadi yang bergerak ke arah perumahan Pinisi. Lalu, tiba-tiba mobil boks itu berhenti. Orang di sebelah pengemudi lalu turun dan menggertak Setyanto. ”Dia bentak, ’Hah!’. Lalu tangannya seperti mau ambil pistol di pinggang,” tutur Setyanto.

Setyanto pun menjauh. Lelaki yang tadi sempat turun itu tak tahu pergi ke mana. Namun, dia segera menghubungi anggota Buser Polsek Penjaringan, Bripka Andre. Setyanto lalu menghubungi petugas satpam yang lain untuk memblokade tiga jalur keluar dari Pantai Indah Kapuk, yakni jalur ke arah Kapuk, Muara Angke, dan ke arah tol. Rupanya, tidak ada mobil boks yang melintas di ketiga jalur itu.

Namun, lalu petugas satpam yang bertugas di perumahan Camar Permai menginformasikan bahwa mobil boks itu memasuki kompleks. Jarak tempuh dari titik di Cengkareng Drain tadi ke Camar Permai hanya sekitar 10 menit berkendaraan. Rupanya, mobil boks itu memang milik salah satu penghuni di Camar Permai. Bahkan, di mobil boks itu juga tertempel stiker tanda penghuni.

Polisi pun lalu bergerak cepat dan menyusul ke Camar Permai. Pengemudi mobil boks itu, CCW, langsung diringkus dan diborgol sekitar pukul 02.45. Ketika hendak ditangkap, dia sempat berusaha menyuap Bripka Andre dengan memberi segepok uang. Upayanya itu gagal.

Di dalam mobil boks itu ditemukan 60 kardus berisi 600 kilogram atau 6 kuintal kristal sabu murni. Polisi memperkirakan nilai sabu murni sebanyak itu lebih dari setengah triliun rupiah.

”Ketika sampai di rumahnya itu, dia baru saja diborgol polisi. Saya lega,” tutur Setyanto.

Setyanto mengaku, keberhasilan penangkapan tersebut berkat kerja sama dan komunikasi yang intensif antara petugas keamanan dan kepolisian setempat sejak lama. Polisi dan petugas satpam selama ini kerap berbagi ilmu dan pengalaman dalam hal pengamanan. Setyanto pun selalu mengingatkan para anak buahnya agar selalu responsif dan peka terhadap lingkungan.

”Saya sebenarnya dulu pramuniaga di Mal Puri Indah. Tetapi di sana saya selalu saja bisa memergoki copet, jadi lama-lama saya pikir, saya jadi petugas security saja,” ujar Setyanto, yang kini bekerja di PT Wahana Mandiri Nirbaya, yang dipakai oleh pengembang Pantai Indah Kapuk untuk pengamanan kawasan.

Pemilik JW Marriot dan Ritz Carlton Indonesia Terjerat Kasus Korupsi Dana ASABRI

JAKARTA- Duit itu sudah menggerojok ke rekening Kejaksaan Agung di Bank Rakyat Indonesia Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jumlahnya sekitar US$ 13 juta, setara dengan Rp 120 miliar. Dikirim salah satu penguasa properti Ibu Kota, Tan Kian, Selasa pekan lalu, itulah duit milik PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang dipakai Tan bersama Henry Leo membeli Plaza Mutiara yang ternyata milik Tan Kian juga.

Sehari sebelumnya Tan Kian datang ke Kejaksaan Agung. Pemilik, antara lain, Hotel J.W. Marriott, Hotel Ritz Carlton, dan Plaza Lippo itu muncul di Gedung Bundar setelah tiga kali absen memenuhi panggilan kejaksaan. Datang dengan sejumlah pengawal dan pengacaranya, selama delapan jam ia diperiksa. Sejak Januari lalu kejaksaan telah menetapkan status tersangka kepada pria 51 tahun ini. ”Putra mahkota” Tan Hin Chung, pemilik Dumaco Group, salah satu pemain terbesar industri kimia itu menjadi tersangka kasus korupsi dana Asabri.

Pada saat pemeriksaan itulah, deal antara jaksa Gedung Bundar dan Tan Kian terjadi. ”Tan Kian berkeras, dia jadi korban Henry Leo,” ujar sumber Detektif Conan di kejaksaan. Tan sendiri, menurut sumber itu, mengaku aktivitas bisnisnya terganggu lantaran terbelit kasus ini. Maka, Senin pekan lalu, disusunlah skema penyelesaian kasus duit Asabri tersebut. Tan Kian mengembalikan duit itu ke Henry, lantas dari sini duit itu dipulangkan ke Asabri. Nah, lantaran tak mungkin duit itu masuk ke kantong Henry, status duit itu pun dititipkan ke kejaksaan. ”Imbal-baliknya, Tan Kian minta status tersangkanya dicabut,” ujar sumber itu.

Pada Kamis pekan lalu, Tan Kian muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hadir sebagai saksi dalam sidang Mayor Jenderal (Purn.) Subarda Midjaja, bekas Direktur Utama Asabri, Tan datang didampingi sekitar empat pengawal. Ketika ketua majelis hakim Sarpin Rizaldi bertanya dari siapa muncul ide ia harus menyerahkan duit US$ 13 juta ke kejaksaan yang kemudian akan diberikan lagi ke Asabri, Tan menjawab lugas, ”Ide itu datang dari kejaksaan.”

ADALAH pertemuan Tan dengan Henry Leo pada 1996 yang membawa raja properti ini masuk ”pusaran” duit Asabri. Dikenalkan seorang pengusaha, Tan dan Henry Leo sepakat mendirikan PT Cakrawala Karya Buana. Di sini Henry yang menguasai mayoritas saham duduk sebagai direktur utama, sedangkan Tan sebagai komisaris.

Menurut salah seorang jaksa yang memegang kasus Asabri, di sini lantas terjadi kongkalikong. Cakrawala membeli ”Plaza Mutiara” milik Tan Kian yang kala itu wujudnya baru berupa hamparan tanah 17 ribu meter persegi di daerah Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Harga yang disepakati US$ 26 juta (sekitar Rp 240 miliar). Plaza itu sendiri kini tumbuh berwujud gedung megah 17 lantai.

Nah, untuk membeli plaza belum berbentuk itulah, Henry lantas mengeluarkan duit Asabri dari rekening BNI US$ 13 juta. Jumlah ini hanyalah sebagian dari duit Asabri Rp 410 miliar yang kini ”tercecer” di mana-mana dan tengah diusut kejaksaan. Pembayaran untuk membeli Plaza Mutiara itu diangsur dua kali. Pertama US$ 3 juta dan sepekan kemudian US$ 10 juta. Semua duit dikirim ke rekening PT Permata Birama Sakti, perusahaan yang pucuk pimpinannya dipegang Tan. Untuk meyakinkan Asabri bahwa duit yang ditanamkan ke properti itu bakal menangguk untung, Henry mengajak Subarda ke Mega Kuningan. ”Henry bilang, dialah pemilik bangunan itu,” kata Subarda, Kamis pekan lalu.

Untuk mencukupi sisanya, Cakrawala meminjam duit ke Bank Internasional Indonesia. BII setuju mengucurkan kredit construction loan dengan syarat ada jaminan dari Tan Kian. ”Karena BII tak mengenal Henry,” ujar sumber Detektif COnan. Dana BII pun kemudian turun bertahap. Dimulai April 1997, setelah berjalan sepuluh bulan dengan jumlah sekitar US$ 10 juta, dana itu diberhentikan Henry. Alasan Henry, duit yang dikirim itu ternyata digelontorkan ke rekening PT Permata, bukan ke Cakrawala. ”Setelah itu Henry menghilang,” kata Tan. Lantaran pembayaran mandek, Tan menganggap wanprestasi. ”Plaza itu tetap milik PT Permata,” ujarnya.

Namun ada yang ganjil di sini. Kendati duitnya berjumlah jumbo, tak ada selembar pun sertifikat yang dipegang Bank International Indonesia sebagai agunan. Sekitar 40 sertifikat sebagai landasan hak pemilikan plaza itu disimpan adik Tan Kian di Singapura. Tatkala krisis moneter meruyak pada 1998, kredit Cakrawala di BII ini diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Belakangan, hak tagih kredit ternyata dibeli lagi oleh Tan Kian dengan harga miring, sekitar US$ 2,5 juta. Kepada Detektif Conan, seorang sumber yang mengusut kasus ini menyatakan, dengan harga semurah itu, negara dirugikan US$ 8 juta.

Inilah yang membuat Tan Kian berurusan dengan kejaksaan. Sepanjang Juni hingga Juli 2007, Tan diperiksa tiga kali di kejaksaan. Pada Februari 2007 kejaksaan menetapkannya sebagai tersangka sekaligus meminta Direktorat Imigrasi mencekalnya. Ketika status itu turun, ternyata Tan sudah di luar negeri.

Satu-satunya yang diharapkan, Tan Kian kini lepas dari kasus ini. ”Secara perdata harusnya demikian,” ujar Denny Kailimang, pengacara Tan. Menurut Denny, kliennya tak hanya sudah mengembalikan duit, tapi juga menyelamatkan uang Asabri. ”Itikad baiknya harus dihargai,” ujar Denny. Kejaksaan sendiri belum melepas status tersangka Tan. ”Menurut undang-undang, walau sudah mengembalikan uangnya, bukan berarti unsur pidananya hapus,” kata Direktur Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Salman Maryadi. Tan Kian menegaskan, dirinya tak tahu duit pembelian Plaza Mutiara itu milik Asabri. ”Saya baru tahu setahun lalu dari majalah dan koran-koran,” ujarnya.

Soal ”tahu” dan ”tidak tahu” asal dana itu sangat penting dalam kasus ini. Seorang penyidik menyatakan, kejaksaan sampai kini masih terus menelisik, Tan Kian bohong atau tidak dalam soal ini. ”Jika ada bukti dia tahu itu duit Asabri, dia bisa masuk. Tuduhannya, ya, melakukan korupsi bersama-sama,” ujarnya. Tapi, Henry Leo menegaskan, Tan Kian tahu dana itu dari Asabri.

Seandai pun lolos dalam kasus ini, bukan berarti Tan Kia bersuka cita. Kejaksaan kini bersiap melemparkan peluru kedua, kasus pinjaman BII. Untuk yang ini, dua pekan lalu Kejaksaan Agung sudah memeriksa mantan Presiden Direktur BII, Indra Wijaya. Indra dicecar pertanyaan seputar kredit BII untuk Cakrawala yang tanpa ada jaminan sertifikat selembar pun.

Jika di sini pun Tan Kian lolos, kejaksaan sudah bersiap lagi dengan jerat terakhir: pengambilalihan hak tagih dari BPPN. Tak hanya Tan Kian yang bisa terjerembap, kasus ini kemungkinan besar merembet ke mana-mana. ”Bisa ramai, menyeret orang-orang BPPN,” ujar jaksa itu. Tapi, terhadap ”ancaman” ini, Denny tak gentar. ”Tidak ada pelanggaran yang dilakukan Tan dalam kaitannya dengan BPPN,” kata Denny. ”Akan saya buktikan, perusahaan yang membeli hak tagih itu bukan punya Tan seperti yang disebut-sebut,” tutur Denny.

Butik Mewah Di Kemang Ludes Di Rampok

JAKARTA – Berbagai perlengkapan fashion mewah senilai ratusan juta rupiah di butik Chemistry di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (22/3) dini hari, habis dibobol pencuri. Kepolisian memperkirakan kawanan perampok itu cukup memiliki pemahaman soal barang-barang fashion kelas dunia.

Butik di jalan Kemang Raya Nomor 51A itu diperkirakan dibobol antara pukul 04.00 dan 05.00. ”Perampok pasti membawa kendaraan sejenis minibus untuk membawa isi satu butik yang sebanyak itu,” kata Kepala Kepolisian Sektor Mampang Komisaris Harry Sulistyadi, Sabtu.

Harry menambahkan, polisi masih memeriksa sejumlah orang di sekitar butik tersebut, termasuk pihak butik. Salah satu saksi sempat melihat sekitar pukul 21.00 sebuah mobil Toyota Kijang beberapa kali mondar-mandir di ruas jalan itu.

Pencurian tersebut baru disadari ketika salah seorang pramuniaga hendak membuka toko pada pagi hari dan mengetahui pintu rolling door sudah tidak lagi terkunci.

”Kami masih selidiki terus, indikasinya belum sampai ke orang dalam. Tetapi kelihatannya pelaku tahu betul soal barang mewah,” kata Harry.

Butik tersebut selama ini memiliki langganan para socialite di Jakarta, termasuk kalangan pesohor. Barang-barang yang dicuri tersebut mulai dari pakaian jenis gaun, celana, pakaian dalam, tas, hingga kacamata.

Setiap satu macam barang harganya dipatok mulai jutaan rupiah. Berbagai barang fashion itu baru diimpor dari berbagai kota pusat fashion dunia, seperti Milan di Italia, Paris di Perancis, sampai New York di Amerika Serikat.

”Semuanya habis, kerugian diperkirakan mencapai Rp 600 juta,” ujar Harry.

Ia menambahkan, jika barang- barang curian yang mewah itu nantinya dijual lagi, tentunya tidak mudah kecuali jika sudah dipastikan ada semacam penadahnya. Sebab, barang-barang kelas dunia itu terbilang tidak pasaran atau memiliki karakteristik yang khusus. Oleh sebab itu, hanya kalangan khusus yang tahu kualitas barang tersebut.

Terendah

Sementara itu, Wakil Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Jakarta Selatan Ajun Komisaris Damanik mengatakan, meskipun beberapa bulan terakhir kerap terjadi perampokan dan pencurian di Jakarta Selatan, frekuensinya masih terbilang terendah di antara lima wilayah DKI Jakarta. Frekuensi kejadian kriminal tertinggi adalah Jakarta Barat.

”Kondisi ekonomi dan sosial sangat memengaruhi terjadinya kriminalitas. Perbuatan kriminal bagaimana pun seperti solusi instan masalah sosial-ekonomi,” kata Damanik.

TNI Pukul Wartawan Karena Diperintah Atasan

PONTIANAK – Wartawan Suara Kalbar Post Bambang Sunarso, yang juga pengurus Departemen Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Kalimantan Barat, dipukul oknum anggota Intel Komando Resor Militer 121/ Alambhanawanawai berinisial S saat berada di Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau, Sabtu (22/3). Insiden ini diduga terkait dengan pemberitaan tentang warga negara Indonesia di perbatasan yang pindah menjadi warga negara Malaysia.

Atas insiden tersebut, Komandan Tim Intel Korem 121/ABW Kapten Tri Hartono menyampaikan permohonan maaf. ”Kami memohon maaf atas kejadian (pemukulan) tersebut. Memang pernah ada perintah untuk melakukan hal itu,” katanya saat menghubungi Kompas di Pontianak, Sabtu.

Bambang menuturkan, pemukulan terjadi sekitar pukul 06.45. Saat itu, kontributor sejumlah media elektronik usai mengambil paket kiriman koran harian Kompas dari Pontianak yang dititipkan melalui bus Damri lintas negara jurusan Pontianak-Kuching.

”Oknum anggota Intel Korem berinisial S mendatangi saya dan tiba-tiba menodongkan senjata dengan menyodokkan ke perut saya. Ia juga memaki-maki saya di depan umum,” kata Bambang.

Dikatakan Bambang, oknum TNI tersebut mengaku dimarahi atasannya terkait dengan pemberitaan warga negara Indonesia yang pindah menjadi warga negara Malaysia yang dimuat harian Kompas, Rabu (19/3). ”Saya dituduh yang membawa rombongan wartawan lain untuk memberitakan WNI di perbatasan Kalbar yang pindah jadi warga Malaysia. Jujur, saya masih shock dan ketakutan,” katanya.

Sekitar pukul 09.00, oknum TNI tersebut mendatangi rumahnya dan meminta maaf. Komandan Tim Intel Korem juga meminta maaf kepadanya melalui telepon.

Bambang bersama wartawan Kompas, LKBN Antara, dan RRI Pontianak meliput wilayah pedalaman di perbatasan Entikong pada 14-18 Maret 2008. Sebelumnya, ia juga menulis berita berjudul ”Ketika WNI Pedalaman Tidak Diperhatikan” yang dimuat di Suara Kalbar Post pada 4 Maret 2008. Baik pada pemberitaan di harian Kompas maupun Suara Kalbar Post sebenarnya tidak ada satu pun yang menyinggung soal TNI.

Ratu Suap Indonesia Kenal Dekat Dengan SBY

JAKARTA – Otto Cornelis Kaligis uring-uringan. Di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Senin pekan lalu, kuasa hukum Artalyta Suryani itu ngomel memprotes Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia jengkel karena kliennya disimpan di rumah tahanan itu. Tempat ini, Kaligis memprotes, cuma bisa menampung 500 orang. Tapi jumlah tahanan lebih dari 1.500. Karena serba sumpek, Artalyta mengalami stres berat. Dia tidak bisa tidur.

Ibu 46 tahun itu tersuruk di kamar sumpek itu karena diduga menyuap jaksa Urip Tri Gunawan Rp 6,1 miliar. Pak Jaksa yang mensupervisi tim pengusutan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diterima Sjamsul Nursalim lewat Badan Dagang Nasional Indonesia. Sjamsul adalah pengusaha yang bisnisnya menjulang di berbagai sektor. Dari perbankan, ban mobil, hingga kedai kopi. Lewat bendera Dipasena, pengusaha kelahiran Teluk Betung itu membuka tambak udang di Lampung.

Perkenalan Sjamsul dan Artalyta bermula di Teluk Betung, tapi mereka kian akrab ketika Sjamsul membuka tambak udang terbesar di Asia Tenggara itu. Bisnis keluarga Sjamsul dan Artalyta sama-sama tumbuh di Teluk Betung. Cuma, keluarga Artalyta melaju duluan. Saat keluarga Sjamsul masih merangkak, kisah seorang sumber yang dekat dengan Sjamsul, bisnis keluarga Artalyta sudah berbiak. Susilo, ayah Artalyta, sudah menjadi pengusaha terkenal. Seluruh bisnisnya bernaung dalam PT Aman Jaya. Karena sudah kaya duluan, keluarga ini lebih dulu kenal dengan petinggi politik di sana.

Walau datang dari keluarga kaya, Artalyta tidak sempat duduk di bangku kuliah. Setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas Palapa 3 di Tanjung Karang, dia dipersunting Akiong, kontraktor yang tersohor lewat CV Sonokeling. Akionglah yang menopang Sjamsul ketika tambak udang Dipasena dibuka. Saat itu, kata sumber tadi, lahan tambak belum bisa digarap lantaran Sjamsul belum punya duit. Akiong lalu menalangi dana pembukaan lahan. Sewa buruh juga ditalangi. ”Ya, semacam pre-finance-lah,” kata anggota keluarga Sjamsul.

Belakangan, ketika Sjamsul menyalip dan melejit sebagai pengusaha nasional, Akiong diangkat menjadi petinggi Gajah Tunggal. Saat bekerja di perusahaan itulah Akiong menggunakan nama barunya: Suryadharma. Pada 1998, Suryadharma meninggal di Singapura karena sakit lever. Sepeninggal sang suami, Artalyta membangkitkan bisnis keluarganya dari bawah. Usahanya beranak-pinak. Dari properti, hiburan malam, hingga bisnis pelesiran.

DAGANG melejit, lobi juga berbiak. Dunia gaul Artalyta kemudian melebar. Dia dikenal dekat dengan sejumlah petinggi politik di Lampung. Alzier Dianis Thabranie, orang kuat Golkar di Lampung, misalnya, juga dekat dengan perempuan ini. Jaringan lobi itu kemudian melebar jauh hingga ke Ibu Kota. Bahkan melambung tinggi hingga ke pucuk Republik.

Lihatlah hajatan pernikahan putranya di kawasan Pekan Raya Jakarta, April 2007, yang dihadiri oleh hampir semua petinggi negeri ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang bersama Ani Yudhoyono. Mereka sempat berfoto bersama pengantin dan keluarganya. ”Presiden sekitar sepuluh menit di situ,” kata sumber Detektif Conan yang mengikuti pesta itu hingga pungkas.

Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara juga bertaburan. Agung Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, memberikan kata sambutan mewakili sahibul hajat. ”Pak Agung bicara sekitar lima menit,” kata sumber Detektif Conan. Sayang, Agung tak bisa dimintai konfirmasi. Telepon selulernya dipegang ajudan. Menurut sang pembantu, ketua legislatif itu sedang berada di luar negeri.

Mantan petinggi negara yang juga terlihat di pesta itu antara lain mantan presiden Abdurrahman Wahid dan mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung. Di samping itu, hadir pula sejumlah pengusaha kakap.

Sejumlah petinggi negara juga terlihat dalam pesta pernikahan putri sulungnya, Imelda Dharma, di Surabaya, Juni 2007. Imelda menikah dengan Eiffel Tedja, putra Alexander Tedja, pengusaha terkenal di kota itu.

Selain sejumlah menteri, para pejabat lokal juga hadir di situ. Dari Jakarta terlihat mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso serta Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutanto dan istri. Sutanto sempat berpose bersama orang tua kedua mempelai. Ikut dalam foto bersama itu Murdaya Po dan istrinya, Hartati Murdaya, pengusaha yang juga dikenal dekat dengan petinggi politik. Foto itu beredar luas di kantor legislatif di Senayan, dua pekan lalu. Semuanya tampil ceria. Artalyta mengenakan baju putih dengan rambut jatuh ke bahu kanan.

Seperti bisnisnya, Artalyta menapaki lobi politik ini dari bawah. Dia merapat dengan petinggi politik di Jakarta lewat politikus lokal di Lampung. Akbar Tandjung, yang hadir dalam pernikahan di Kemayoran itu, mengaku diundang langsung sahibul hajat. ”Seingat saya, Artalyta membawa undangan bersama orang Golkar dari Lampung,” kata Akbar. Mantan Ketua Umum Golkar ini mengaku tidak terlalu kenal dengan Artalyta, tapi kenal baik dengan orang Beringin Lampung itu.

Gaya mendaki dari bawah itu, kata sumber Detektif Conan, dipakai untuk mendekati semua petinggi partai. Cara ini cukup cespleng dalam menjalin lobi dengan para jaksa di Kejaksaan Agung. Jaksa Urip, misalnya, telah lima tahun dikenal Arta. Belakangan dia juga kenal dengan Kemas Yahya, atasan Urip, dan petinggi lain di kejaksaan. Lantaran dekat dengan sejumlah petinggi kejaksaan itu, Artalyta gampang merapat ke kejaksaan.

Lihatlah peristiwa 17 Januari 2008. Hari itu sedianya kejaksaan memeriksa Sjamsul Nursalim. Menurut jadwal, pemilik Gajah Tunggal itu diperiksa dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada pagi hari. Sekitar 50 wartawan riuh memenuhi pelataran Gedung Bundar, tempat pemeriksaan berlangsung. Di luar pagar, seratus mahasiswa berpekik menuntut Sjamsul diseret ke bui. Tapi, hingga petang, taipan yang menetap di Singapura itu tidak tampak batang hidungnya. Para pendemo yang lelah lalu balik kanan, pulang.

Tidak lama berselang, sebuah mobil Toyota Alphard merapat ke pintu utama Gedung Bundar. Artalyta turun bersama seorang pengawal. Dia masuk ke dalam, entah menjumpai siapa. Tapi sejumlah sumber menyebutkan Artalyta saat itu menemui seorang petinggi kejaksaan.

Jaksa Agung Hendarman Supandji bukan tidak tahu soal hilir-mudiknya Artalyta itu. Hendarman bahkan sudah mencium bahwa bawahannya sedang ”didekati”. Itu sebabnya dia memberikan peringatan kepada Kemas Yahya. ”Saya bilang sama Kemas, hati-hati.” Peringatan itu, kata Hendarman, dilakukan jauh hari sebelum penangkapan.

Walau diperingatkan, sejumlah jaksa tetap saja nekat. Beberapa bulan lalu, lima jaksa bahkan nekat berpelesir ke Pulau Lelangga Kecil di Lampung milik Arta. Salah satu jaksa yang diberitakan berwisata ke situ adalah Kemas Yahya.

Pulau itu memang permai. Air laut jernih dengan terumbu karang yang perawan. Luasnya tiga hektare, memiliki sebuah vila, bungalo, dan dermaga pribadi. Pulau itu dikawal ketat. Saat Detektif Conan datang ke sana dua pekan lalu, sejumlah pengawal datang menghalau.

Kemas Yahya mengaku kenal dengan Artalyta. ”Kalau kenal, saya kenal,” katanya. Tapi dia mengaku lupa sejak kapan dia mengenalnya. Soal pelesir ke Lelangga, Kemas membantah keras. ”Saya tidak pernah ke situ.” Dia juga menegaskan bahwa hubungan dengan Artalyta tidak ada hubungannya dengan perkara BLBI Sjamsul Nursalim.

KISAH kesaktian lobi Artalyta itu sudah lama jadi buah bibir di keluarga besar Sjamsul Nursalim. Ada yang kagum, banyak pula yang mencibir. Mereka yang mencibir menuduh Artalyta sekadar ingin memanfaatkan Sjamsul.

Tapi seorang anggota keluarga Sjamsul yang dulu kerap meremehkan Artalyta mengakui kehebatan dia saat melihat kehadiran sejumlah petinggi dalam pesta di Kemayoran, April 2007 itu. ”Dia tidak terkenal, tapi mengenal dan dikenal banyak orang. Itu benar-benar hebat,” kata si sumber.

Walau mengakui kesaktian lobi Artalyta, sumber ini memastikan bahwa Sjamsul tidak pernah meminta Artalyta membereskan kasus BLBI. Tapi, sumber itu melanjutkan, ”Kalau Artalyta mau membantu, silakan saja.”

Setelah kasus suap meledak, keluarga Sjamsul membentuk tim internal guna menyelidiki kasus ini. Senin dua pekan lalu, sehari setelah Urip dan Artalyta dibekuk penyidik KPK, tim keluarga itu meluncur ke rumah Sjamsul di Hang Lekir, Jakarta Selatan.

Semua penghuni rumah diinterogasi. Pembantu, sopir, tukang kebun, dan satuan keamanan dikumpulkan. Mereka ditanyai sekitar kronologi peristiwa dan soal kegiatan Artalyta selama menghuni rumah itu. Dari penelusuran ke sana-kemari itu, sumber dari kalangan keluarga Sjamsul tersebut yakin bahwa Artalyta bergerak sendiri.

Uang yang diberikan kepada Urip, kata sumber itu, bukan berasal dari Sjamsul. ”Saya menduga uang itu juga pre-finance, yang nanti diklaim belakangan ke Pak Sjamsul.” Betulkah? Sulit memastikannya. Tapi tampaknya alibi inilah yang akan dipakai Sjamsul untuk memutus rantai hubungannya dengan Artalyta. ”Silakan saja cek apakah ada aliran dana dari Sjamsul ke Artalyta,” kata seorang kerabat Sjamsul.

Artalyta memilih jurus diam menghadapi semua tuduhan itu. Kepada wartawan yang mengerubunginya, Senin pekan lalu, dia cuma memberikan jawaban singkat, ”Kita harus landaskan kasus ini pada asas praduga tidak bersalah.” Selebihnya, dia meminta wartawan tidak mengaitkan kasus ini dengan siapa pun.

Detektif Conan berusaha menemui Artalyta di rumah tahanan, Jumat pekan lalu. Tapi sipir yang berjaga menjawab bahwa ibu tiga anak itu tahanan khusus yang dijaga Brigadir Mobil (Brimob). Si sipir kemudian menghadap para penjaga khusus itu. Tak lama berselang, seorang berseragam Brimob, lengkap dengan pistol di pinggang, menjumpai Detektif Conan. Dia menegaskan, ”Yang bisa menjenguk cuma keluarga dekatnya.”

Detektif Conan juga mendatangi rumah milik Romy Dharma, putra Artalyta, di Jalan Pakubuwono, Jakarta Selatan. Rumah itu bergaya Spanyol. Bagian depannya dihias batu pualam dan lempengan logam. Penjaga keamanan rumah itu cuma menjawab pendek, ”Pak Romy sedang berada di luar rumah.”

Otto Cornelis Kaligis membenarkan bahwa Artalyta sudah mengenal Urip Tri Gunawan sejak lima tahun lalu. Tapi dia membantah keras uang yang diserahkan kepada Urip itu sebagai suap. Kaligis memastikan, ”Uang itu sebagai pinjaman untuk bisnis permata.”

Pinjaman itu, menurut dia, tidak berhubungan dengan perkara yang melilit Sjamsul Nursalim. Karena sifatnya pinjaman, Artalyta dan Urip membuat akta utang-piutang. Komisi Pemberantasan Korupsi hakulyakin uang itu memang suap. ”Kami punya bukti yang sangat kuat,” kata Antasari, ketua komisi itu.